SETIAP orang Muslim sudah barang tentu sangat bergembira menyambut kedatangan bulan suci Ramadan. Tidak mengherankan bila di berbagai pelosok tanah air, masyarakat melakukan berbagai upacara dan tradisi penyambutan.
Tradisi-tradisi itu antara lain; tradisi Balimau di Sumatera Barat, Meugang di Aceh, Perlon Unggahan di Banyumas, Dugderan di Semarang, Padusa di Klaten dan Yogyakarta, Nyorog pada masyarakat Betawi, Belangiran dan Ngelop di Lampung, Pawai Tarhib di Bangka, Makan Kue Apem di Surabaya, dan puluhan bahkan ratusan tradisi lainnya.
Tradisi-tradisi ini memang sedikit menyisakan kontroversi seperti dilansir rakyat merdeka online. Sebagian orang memandang bahwa tradisi-tradisi itu tidak mempunyai landasan syar’i sehingga tidak memiliki nilai ibadah sama sekali. Sementara sebagian lain berpendapat bahwa tradisi-tradisi itu memiliki makna yang sejalan dengan semangat ajaran Islam. Mandi sehari sebelum masuk bulan Ramadan dalam tradisi Balimau dan Padusa, misalnya, dinilai sebagai proses penyucian jiwa dan raga yang dinilai sama dengan anjuran mandi sebelum berangkat Shalat Jum’at.
Terlepas dari kontroversi yang ada, tradisi-tradisi itu secara umum dapat dimaknai sebagai ekspresi kegembiraan dan kesyukuran masyarakat atas datangnya bulan suci Ramadan. Ekspresi kegembiraan dan kesyukuran semacam ini tentu memiliki nilai dalam pandangan Allah. Salah satu hadits popular yang banyak disampaikan dalam konteks menyambut bulan Ramadan berbunyi, “Barang siapa yang bergembira dengan datangnya bulan suci Ramadan, Allah akan memelihara jasadnya dari api neraka”.
Ekspresi kegembiraan dan kesyukuran semata tentu tidaklah cukup. Umat Islam dituntut untuk melakukan persiapan-persiapan agar bulan ini betul-betul mendatangkan rahmat, bukan justru menjadi beban. Dalam konteks menyambut bulan Ramdan, setidaknya ada tiga hal yang perlu dipersiapkan.
Pertama, persiapan rohani. Persiapan rohani dimaksudkan agar jiwa dan rohani kita siap dalam melakukan pendakian spiritual dalam meraih rida Allah. Kesucian jiwa dan rohani diperlukan dalam menjalani rangkaian ibadah yang ada di sepanjang bulan suci Ramadan. Hanya dengan jiwa dan rohani yang siap, nilai-nilai spiritual ibadah Ramadan dapat kita raih secara sempurna.
Kedua, persiapan ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang cukup tentang teknis pelaksanaan amalan-amalan bulan Ramadan sangat menentukan kualitas ibadah yang dilaksanakan. Oleh karena itu, penguasaan terhadap fiqh puasa adalah sangat penting. Orang yang mengetahui fiqh puasa dengan baik akan dapat menghindarkan diri dari berbagai kesalahan sehingga dapat memaksimalkan nilai pahala yang akan diraih.
Ketiga, persiapan fisik. Ibadah-ibadah yang akan dilaksanakan di dalam bulan suci Ramadan membutuhkan kesiapan fisik yang prima. Dengan kondisi fisik yang baik, ibadah puasa, tarawih, tilawah, dan aktivitas-aktivitas lainnya dapat dilaksanakan dengan sempurna. Semakin siap fisik kita, maka semakin banyak pula ibadah yang bisa kita laksanakan.
Bila dihitung secara kalkulatif, mempersiapkan diri dengan ketiga hal tersebut sesungguhnya jauh lebih penting dibandingkan dengan pelaksanaan tradisi-tradisi yang disebutkan di atas. Jangan sampai pelaksanaan tradisi-tradisi itu justru melupakan persiapan diri yang sesungguhnya. Persiapan seperti ini haruslah diutamakan mengingat tidak ada satu orang pun yang dapat menjamin bahwa kita akan berjumpa dengan Ramadan di tahun yang akan datang.
Atas dasar kesadaran itu, marilah kita mengisi Ramadan ini dengan memperbanyak ibadah dan amalan sebagaimana yang dianjurkan dan praktikkan oleh baginda Rasullullah SAW semasa hidupnya. Wallahu'alam. Marhaban ya Ramadan.
Klik disini untuk melanjutkan »»