SAUDARA KU DI MANA PUN BERADA, SEIRING DATANGNYA 1 RAMADHAN 1433 H, MARILAH KITA SALING MEMBERSIHKAN DIRI, KEPADA ALLAH SWT KITA BERTAUBAT SESAMA MANUSIA KITA SALING BERMAAF-MAAFAN. MARI KITA PERBAIKI HUBUNGAN SILATURAHIM SESAMA UMAT, TERUTAMA PADA ORANG TUA, SUAMI ISTRI, SESAMA SAUDARA SEDARAH SERTA DENGAN KAUM KERABAT, JIRAN TETANGGA. SEMOGA DENGAN CARA DEMIKIAN, KITA BISA MENJALANI IBADAH PUASA DENGAN TENANG DAN MENDAPATKAN PAHALA YANG SETIMPAL DI SISI aLLAH SWT. UNTUK ITU, SAYA ATAS NAMA PRIBADI DAN KELUARGA MENGUCAPKAN SELAMAT MENJALANI IBADAH PUASA, MOHON MAAF ZAHIR DAN BATIN. SAUDARA KU, SESUNGGUHNYA BERHAJI MERUPAKAN SALAH SATU RUKUN ISLAM, YANG UNTUK MENJALANKANNYA KITA HARUS MEMILIKI TRESHOLD (NILAI AMBANG BATAS), KELAYAKAN, BAIK JASMANI, ROHANI MAUPUN MATERI. MAKANYA KALAU SUDAH SIAP, SEGERAKANLAH!!

Thursday, 29 May 2008

Mempolitisir Data Data Penduduk

. Thursday, 29 May 2008
0 komentar

Oleh Drs Yasril

KEMARIN, Kamis (29/5/2008), saya terkesima membaca berbagai media cetak dengan judul beragam tapi maksudnya tetap satu, yakni pengangguran dan kemiskinan di Riau menurun. Gubernur Riau HM Rusli Zainal mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan bahwa pada tahun 2005 angka kemiskinan sebesar 14,67 persen, tahun 206 turun jadi 13,34 persen dan tahun 2007 turun lagi jadi 11,25 persen. Begitu juga halnya dengan data pengangguran pada tahun 2005 sebesar 13,91 persen, tahun 2006 turun jadi 11,45 persen dan tahun 2007 menjadi 10,39 persen.

Berbagai pertanyaan muncul di pikiran saya. Apakah memang benar jumlah masyarakat Riau yang miskin itu sudah berkurang atau malah sebaliknya meningkat, tapi tidak dilaporkan seperti apa adanya. Atau ini merupakan bahagian dari live service untuk menyenangkan hati gubernur. Kalaulah memang pada tahun 2006 dan 2007 sudah diketahui penurunan angka kemiskinan di daerah ini, lantas kenapa data masyarakat miskin yang diturunkan pemerintah pusat pusat masih menggunakan data tahun 2005 lalu. Pertanyaan lainnya kenapa data tentang kemiskinan di Riau tidak diverifikasi di level nasional.

Ada apa dengan lembaga-lembaga atau instansi pemerintah yang mengolah data saat ini? Kenapa dari 5.000 kecamatan yang ada di Indonesia hanya baru 1.000 kecamatan yang telah memverifikasi data, tidak termasuk Riau. Ada apa??? Berjibun pertanyaan lainnya muncul yang ujung-ujungnya bermuara pada upaya peningkatan kesejahteraan rakyat Riau ini.

Memang, kata miskin dan pengangguran bahkan juga putus sekolah merupakan hal yang paling tidak enak didengar dan dialami. Bahkan tidak ada satu orang pun di dunia ini yang berse­dia jadi miskin, jadi pengangguran dan putus sekolah. Namun itulah kodrat alam, selalu ada dua, miskin-kaya, tua-muda, lelaki-perempuan kerja-menganggur dan sebagainya.

Kemiskinan di kalangan rakyat selalu jadi perhatian, bahkan jadi bahan gunjingan, tidak hanya oleh masyarakat dan pemerintah, tapi juga para politisi, dan ada saja yang mempolitisirnya, terlebih lagi menjelang masa-masa suksesi kepemimpinan seperti sekarang. Kondisi ini pun terjadi di negeri yang bernama Riau.

Lebih unik lagi, adakalanya jumlah kemiskinan yang besar ini diperlukan, baik oleh pemerintah maupun politisi, terutama dalam upaya menyedot anggaran yang dialokasikan pemerintah pusat, entah dalam bentuk kompensasi BBM, dana bagi hasil migas, asuransi kesehatan, dana pendidikan dan sebagainya. Sehingganya hampir setiap daerah berlomba-lomba memperbesar jumlah angka kemiskinan, dengan hara­pan dana yang mengalir ke daerah pun lebih besar. Meski pun di daerah sendiri belum tentu mampu memanfaatkan dana besar itu untuk kesejahteraan rakyat kecil.

Padahal, kalaupun ada dana yang dialokasikan pusat ke daer­ah, belum tentu pula akan sampai ke rakyat yang termarjinalkan. Bahkan bukan tidak mungkin, dana tersebut pun tersangkut di kebijakan-kebijakan pengambil keputusan di suatu daerah. Sehingga tidak heran kalau ada sikap fesimis dari sebagian warga dan beranggapan bahwa yang kaya akan tetap kaya dan miskin makin
miskin.

Tetapi di balik semua itu, ada kalanya kemiskinan pun jadi bahan gunjingan bagi politisi, dan dijadikan komoditas politik untuk menarik simpati rakyat, terutama pada saat-saat masa sukse­si.
Ini akan terlihat nyata, bagi politisi yang kadernya tengah berkuasa dan berupaya untuk kembali berkuasa akan selalu mem­perkecil tingkat kemiskinan rakyat, pengangguran, anak putus sekolah dan sebagainya. Ini tidak saja terjadi di level kabupaten/kota atau distrik, tapi juga di tingkat provinsi dan nasion­al. Bahkan isu kemiskinan ini pun selalu didengungkan para poli­tisi negara lain dengan tujuan yang sama.

Sementara oleh lawan politiknya, angka ini pun dibesar-besarkan dengan sasaran tujuan ingin memperlihatkan gambaran bahwa ini bukti ketidakberhasilan pemerintah berkuasa. Mereka tidak akan bicara dengan data-data yang dilansir pemerintah secara resmi tapi lebih pada data lapangan yang dianggap inilah realita yang terjadi.

Ternyata sikap apatis dan fesimis seakan sudah melekat di lubuk hati mereka. Bagi mereka besar kecil angka kemiskinan tak perlu. Yang peniting, perut berisi, anak-anak sekolah, ada tempat bernaung. Begitu juga dengan kondisi sekarang di saat pemerintah menyalurkan bantuan langsung tunai yang penting bantuan itu benar-benar sampai dan dirasakan masyarakat banyak. Makanya marilah kita kembali berorientasi pada kepentingan orang banyak demi kemakmuran rakyat demi kemajuan masyarakt Riau ke depan. Jangan lagi data-data kependudukan itu dipolitisir demi kepentingan kelompok.***
Yasril, Pengurus Ikatan Peminat dan Ahli Demografi (IPADI) Riau yang juga Ketua IPKB Riau

Klik disini untuk melanjutkan »»

Wednesday, 28 May 2008

BLT vs Data Keluarga Miskin

. Wednesday, 28 May 2008
0 komentar



Oleh Yasril
Yasril123@yahoo.co.id

RABU 28 Mei 2008, saya berkesempatan ke Kecamatan Tampan, Kota Pekanbaru untuk suatu keperluan. Di sana saya pun sempat bicara soal penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) yang merupakan kompensasi kenaikan harga BBM yang diterapkan pemerintah beberapa hari lalu.

Ketika itu Camat Tampan Adi Suaska SSos pun memanggil staf agar segera mengumpulkan para lurah, Ketua RT, RW, aparat kantor Pos kecamatan dan pihak statistik untuk menindaklanjuti soal data kemiskinan di wilayah itu. Maklum, data yang diturunkan Pemerintah pusat adalah data yang dilansir pemerintah pada tahun 2005-- yang bisa dipastikan hasil pendataan tahun 2004, ketika BKKBN juga melakukan pendataan keluarga.

Ternyata setelah empat tahun berselang, setelah terjadi mobilisasi penduduk, baik migrasi, transmigrasi, data tentang kemiskinan yang dipakai tetap saja data tahun 2004. Sungguh memilukan untuk sebuah negara besar seperti Indonesia. Padahal waktu cukup tersedia, anggaran melimpah ruah, namun untuk sebuah data mikro keluarga yang memiliki urgensi besar terhadap upaya pengambilan keputusan sulit untuk diwujudkan, terutama sejak lembaga BKKBN di tingkat kabupaten/kota sudah dilebur.

Kalaupun masih ada lembaga yang menangani masalah pengumpulan data, seperti Badan Statistik, Lembaga litbang di kabupaten/kota atau di pemerintahan provinsi, tetap saja datanya kurang akurat. Karena, kegiatan pengumpulan data selian dijadikan proyek, system yang digunakan juga memakai pola proyeksi dengan pengambilan sample secara acak di wilayah-wilayah tertentu.

Lain halnya dengan pola yang digunakan ketika BKKBN di tingkat kabupaten/kota masih utuh. Lembaga yang sempat merupakan instansi satu-satunya di Indonesia yang memiliki data mikro keluarga itu mempu melakukan pendataan secara door to door dengan biaya relatif minim. Sebab, lembaga BKKBN ini lebih kepada memberdayakan para kader dan petugas mereka, baik di tingkat kabupaten/kota, kecamatan sepertio petugas penyuluh lapangan KB (PPLKB), di desa dan kelurahan menggunakan petugas penyuluh KB desa, dasa wisma, Posyandu dan sebagainya.

Tidak heran, kalau ketika itu data yang dihasilkan BKKBN selalu dilirik instansi lain untuk menjadikan data mikro dalam melanjutkan program kerja. Sebagai contoh penyerahan BLT, penyerahan bea siswa, bantuan ekonomi keluarga. Sebab, untuk mencocokkan data di level bawah tidak sulit lagi. Tinggal melihat data baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa, bahkan ke tingkat RT dan RW bisa dilacak dengan memakai data. Program yang dilakukan pun tepat sasaran.

Saat ini contohnya, ketika pemerintah pusat menurunkan data angka kemiskinan, ternyata di banyak daerah data itu sudah tidak valid lagi, karena terjadinya mobilisasi penduduk selama empat tahun yang juga mempengaruhi tingak kesejahteraan keluarga dan sebagainya.

Sementara itu, Deputi Informasi Keluarga dan Pemanduan Kebijakan Program, Kantor BKKBN Pusat Drs Pristy Waluyo mengatakan, data mikro keluarga di Indonesia harus dimuthakirkan setiap tahun. Sehingga dalam pengambilan kebijakan program pembangunan selalu menggunakan data terbaru.

‘’Ini penting, karena data mikro sangat menentukan keberhasilan setiap program kerja di bidang apa pun, terutama yang berkaitan dengan kependudukan, baik menyangkut data pra sejahtera atau kemiskinan, data anak putus sekolah, pengangguran, tingkat kelahiran dan sebagainya,’’ kata Pristy Waluyo dalam sambutannya saat pembukaan Temu Kerja Regional Sistem Pencatatan Pelaporan Program KB Nasional bagi kepala Unit Kerja Pengelola data dan informasi SKPD Kabupaten/kota dan Kasi Pelaporan Program dan Statistik BKKBN Provinsi, malam tadi di Pekanbaru. Kegiatan tingkat regional ini diikuti empat provisi masing-masing Aceh, Riau, Kepri dan Banten.

Dijelaskannya, hingga saat ini komitmen pimpinan BKKBN untuk menyediakan data dan informasi terkini masih solit. Sebab, selama ini data yang dihasilkan BKKBN tidak hanya dimanfaatkan untuk kelancaran program di lingkungan BKKBN saja, tapi juga dimanfaatkan dinas instansi terkait. ‘’Karena memang BKKBN lah, satu-satunya institusi di Indonesia yang memiliki asset data mikro keluarga. Data itu bisa diketahui dari tingkat nasional hingga ke level RW dan RT,’’ paparnya.

Namun sejak penyerahan sebagian kewenangan BKKBN ke kabupaten/kota, asset seperti itu pun sulit didapat. . Kondisi unit kerja pengelola data dan informasi terlihat beragam, bahkan di beberapa SKPD kabupaten/kota tidak mempunyai unit kerja khusus yang menangani pengelolaan data itu. ‘’Padahal data dan informasi merupakan suatu alat penting bagi manajemen modern untuk menambil keputusan strategis,’’ paparnya***

Yasril adalah Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Riau

Klik disini untuk melanjutkan »»

Sunday, 25 May 2008

Menjaga Keseimbangan Alam

. Sunday, 25 May 2008
0 komentar


Untuk Kita Renungkan
Apabila Bumi Mengeluarkan Isinya

Oleh Yasril


1. Apabila bumi diguncang dengan dahsyatnya
2. Dan bumi mengeluarkan isinya
3. Dan manusia berkata, ''mengapa bumi ini
4. Pada hari itu bumi menerangkan berita-beritanya
5. Karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan kepadanya (supaya terjadi demikian)
6. Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dan terpisah-pisah supaya diperlihatkan kepada mereka perbuatan yang mereka lakukan
7. Barang siapa yang berbuat kebajikan meski sebesar zarah akan dapat ganjaran
8. Barangsiapa yang berbuat kejahatan walau sebesar biji bayam akan dapat siksaan.
(Az zalzalah, Q,99-8)

DALAM dua pekan terakhir, kita masih disuguhkan dengan berita memilukan. Belum habis berita tentang gempa di pesisir barat Sumatera, kita kembali dikejutkan dengan gempa bumi yang terjadi negeri Tirai Bambu , Republik Rakyat Tiongkok .

Gerakan lempeng bumi berkekuatan besar dan mema­kan korban jiwa yang mencapai ribuan jiwa itu telah men­gingatkan kita pada kejadian serupa beberapa tahun silam. Yakni gempa bumi yang diikuti tsunami di Daerah Istimewa Aceh (DIA). Demikian juga halnya dengan gempa bumi di Nias (Sumatera Utara), gempa di Mentawai (Sumatera Barat), gempa di Halmahera, banjir bandang, kekeringan dan sejumlah peristiwa alam lainnya.

Semua datang silih berganti seakan memberi pertanda dan perin­gatan pada manusia agar tidak hanya ingat akan pentingnya keseim­bangan alam semesta, tapi juga agar manusia ingat pada sang pencipa alam raya ini.

Dari kaki gunung Merapai contohnya, Mbah Marijan yang didau­lat sebagai juru kunci gunung Merapi juga mengingatkan bahwa jika ingin selamat, hidup harus selaras dengan gunung Merapi. Artinya, di antara sesama ciptaan Allah jangan saling merusak. Sebab, jika di antaranya telah ada saling merusak, maka keseimbangan alam tidak akan terkendali lagi. Manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, alam semesta memerlukan satu mata rantai yang satu dan lainnya saling
keterkaitan.

Namun kenyataan berkata lain, kerusakan demi kerusakan terjadi di sana-sini. Manusia merusak manusia, perbudakan terjadi di sana sini, penjualan wanita untuk kegiatan pelacuran tetap berlang­sung, kegiatan masiat merajalela, penjungkirbalikan akhidah pun tidak terkendali akibat kesalahan dalam mengendalikan kemajuan ilmu dan teknologi. Selain itu pertikaian demi pertikaian sesama umat juga terjadi, sesama umat muslim saling bercekau.

Di sisi lain kita juga melihat adanya manusia juga merusak alam, hutan dibabat, digunduli dan dibakar. Akibatnya sebagian makluk hidup mulai punah-ranah, entah itu tanaman maupun hewan yang ada dalam habitatnya pun terganggu. Tidak heran kalau di Riau kita mendengan adanya gajah mengamuk, harimau menerkam manusia, banjir besar. Itu semua juga karena ulah tangan manusia.

Tidak itu saja, karena hutan gundul, daerah resapan air pun kian habis, penahan angin pun sudah tiada. Kalaupun terjadi hujan disertai angin kencang, maka alamat banjir pun menghadang kehidupan manusia.

Padahal Allah menciptakan langit dan bumi beserta isinya dengan ukuran masing-masing dengan harapan manusia memanfaatkan alam sesuai takaran yang telah ditetapkan. Namun, kenyataan berkata lain. Akibat sifat nafsu, tamak, serakah yang dimiliki manusia, maka takaran yang telah ditetapkan Allah pun diingkari.

Sebagai bukti terjadinya eksploatasi besar-besaran terhadap hutan beserta isinya, sehingga mengganggu keseimbangan alam. eksploaitasi dan eksplorasi kansungan alam secara besar-besaran, sehingga mempen­garuhi sususnan kerak bumi dan sebagainya, sehingga akhirnya peringatan demi peringatan pun diberikan secara silih berganti.

Bagaimana peringatan Allah? Semua sudah terpatri di dalam qallam Illahi Alqurannul qarim. Banyak ayat dan surat yang berhu­bungan dengan peringatan-peringatan terhadap manusia. Baik yang berhubungan dengan keseimbangan alam, hubungan sesama manusia, antar manusia dan pencipta. Hanya saja manusia banyak yang ingkar dan meninggalkan ayat-ayat Allah.

Dalam surah Azzalzalah yang berarati goncangan contohnya. Allah mengingatkan manusia terhadap akan adanya hari kiaman. Dimana pada hari itu akan terjadi guncangan bumi yang amat dahsyat. Dimana semua isinya akan terbongkar ke luar, tulang belulang, barang tambang akan berhamburan ke luar.

Pada saat itu manusia akan terperanjat ketakutan, terkecuali bagi mereka yang berbuat amal kebaikan, meski sebesar zarah (biji bayam). Kalaulah terjadi musibah yang manimpa sebagian umat, maka tidak sedikit pejabat yang mulai bersuara agar yang ditimpa musibah untuk tabah dan tawakhal. Jadikan musibah itu sebagai i'tibar (pembelajaran) untuk menghadapi masa depan. Namun anehn­ya, setelah berkomentar dan satu musibah berlalu, manusia kembali lupa dan berbuat yang sama.
Sehingganya Allah dalam Alquran pun menyatakan akibat kerusakan yang dilakukan manusia di bumi dan dilangit, maka diturunkan azap pedih. Inilah yang perlu untuk kita renungkan agar selalu menjaga keseimbangan alam.***

Klik disini untuk melanjutkan »»

Pendidikan di Malaysia Wajib Hingga Perguruan Tinggi

.
0 komentar




Laporan Perjalanan Yasril dari Serawak, Malaysia

PERJALANAN pers yang kami lakukan selama sepekan ke Negeri Boerneo yakni Provinsi Kalimantan Barat dan negeri jiran, yakni Negara Bagian Malaysia, tepatnya Serawak memberi banyak makna dalam penambahan wawasan berpikir. Setidaknya ini juga dirasakan oleh para journalist dari berbagai provinsi di Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB).

Dari Riau, kami mengirim tiga delegasi, masing-masing Drs Yasril sebagai Ketua IPKB Riau yang juga sebagai pengurus Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) Riau, Drs Jumadi Fadil, Sekretaris IPKB Riau yang juga Kasi Penerangan dan Motivasi (Penmot) BKKBN Riau, H Tanzili Ali, Kepala Stasiun Radio Pemerintah Daerah Kampar (RPDK) yang juga Kepala bagian Humas Pemkab Kampar dan Pengurus Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kampar.

Pada kegiatan yang dirangkai dalam tajuk Rapat Kerja Nasional IPKB itu banyak hal yang bisa dilihat. Selain membahas program kerja IPKB ke depan, para peserta pun berbagi pengalaman dengan sesama pengurus IPKB yang juga journalis dari berbagai media, baik cetak dan elektronika dari semua provinsi di Indonesia. Kami melihat banyak kesamaan potensi antara Riau dan Kalbar dan Serawak yang sebenarnya apa yang dibuat di Kalbar dan di Serawak bisa juga diterapkan di Riau. Baik dalam hal peningkatan program Kelaurga Berencana, program perkotaan maupun upaya menggali potensi PAD yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, pendidikan gratis yang selama ini sering didengung-dengungan di Indonesia dan banyak hal-hal lainnya.

Dalam tulisan ini, saya akan mencoba berbagi pengalaman tentang perjalanan ke Negara bagian Malaysia, tepatnya di Kucing, Serawak yang kami tempuh semalam suntuk melalui perjalanan darat dari Pontianak. Memang, banyak kawan-kawan yang belum pernah ke Kucing, Malaysia Timur, karena mereka setiap harinya disibukkan dengan rutinitas sebagai journalist yang dikejar dead line. Selain Kucing Serawak juga berada di Negeri Boerneo yang harus ditempuh dengan melampaui pulau-pulau, seperti yang disampaikan rekan dari Maluku, Sumatera, Jawa dan lainnya.

Namun kami sangat bersyukur juga, karena rekan Yasmir Umar, Ketua IPKB Kalbar yang sehari-harinya sibuk di Pontianak Post mampu mengkondisikan perjalanan pers tersebut. Ini juga tidak terlepas dari pengalaman yang ia lakukan ketika melakukan muhibah ke negeri jiran.

Malam itu, ketika rombongan IPKB se Indonesia chek out dari Hotel Orchit, bus lintas batas yang akan membawa kami ke Kucing pun sudah stand by. Setelah semua beres-beres, bus pun melaju menuju perbatasan Indonesia-Malaysia tepatnya di Entikong. Meski berangkat malam hari, tetap saja terasa perbedaan infrastruktur perbatasan antara Malaysia dan Indonesia. Setidaknya, ketika masih di wilayah NKRI, bus melaju kondisi jalan yang sempit, berlubang dan berliku-liku. Perbedaan itu amat kentara setelah melewati tapal batas Entkong, di mana bus melaju dengan kecepatan tinggi di uas jalan yang lebar mulus dan sedikit kelokan.

Sekitar pukul 04.30 WIB, atau sekitar 05.30 WITA kami telah sampai di Entikong. Di sana sudah banyak bus lintas batas dan kendaran pribadi dari dan ke Indonesia atau sebaliknya. Pintu tapal batas ketika itu belum dibuka, sehingga para pelintas batas pun terpaksa sabar menunggu. Sambil menunggu pintu perbatasan dibuka petugas, kami umat muslim pun menanfaatkan waktu untuk Shalat Subuh di Masjid Al Muhajirin, PPLB Entikong, yang berada di sebelah barat jalan menuju Kucing, tepatnya di belakang gardu lintas batas.

Setelah shalat, kami pun kembali ke pintu tapal batas dan satu persatu pelintas batas dipersilakan masuk. Pemeriksaan keimigrasian wilayah Malaysia di perbatasan, dibagi ke dalam dua barisan memanjang. Satu-persatu, orang yang mengadakan perjalanan ke Malaysia, melakukan pemeriksaan paspor. Kami pun menyatu dengan pelintas batas lainnya sambil antrean.

Kami dari kalangan journalist tidak begitu sulit untuk masuk, karena sebelum antrean, ketua rombongan terlebih dahulu mendatangi petugas keimigrasian. Setelah ketua rombongan Yasmir Umar menghadap, barulah penandaan paspor untuk rekan pers tersebut diberikan petugas. Setelah pemeriksaan, perjalanan dilanjutkan kembali pukul 06.19 WIB.

Jarak dari Entikong ke Kuching sekitar 84 kilometer seperti tertera pada papan penunjuk jalan yang berada di sisi kiri jalan. Selama perjalanan, hanya satu-dua kendaraan yang berpapasan.

Secara geografis, wilayah Malaysia hampir sama dengan Indonesia. Tanaman paku-pakuan, alang-alang, dan tanaman perdu lainnya terhampar di sepanjang jalan. Di Tebedu, dekat Chatholic Church bis dihentikan oleh seorang PDRM. Kembali penumpang dan rombongan menjalani pemeriksaan paspor. Di luar, dua PDRM yang lain berteduh menggunakan tenda berwarna hijau. Mereka mengitari meja bulat, dengan beberapa gelas berisi kopi. Sebungkus rokok Surya, tergeletak di mejanya.
Selama perjalanan, terhitung tiga kali pergantian operator yang tertera pada handphone saya. Maxim, My Celcom, dan Digi. Jarak waktu pergantian operator itupun hanya sejam.

Dua jam setengah perjalanan bis sampai di Terminal Batu Tiga Setengah, Kuching Selatan. Di sana rombongan pindah ke bis tour yang sudah menunggu. Menurut agen bis terminal, seluruh bis express dari Indonesia dan Brunai, berhenti di terminal ini. “Kita rapi-rapi di toilet, karena kita akan ke kantor Konsulat RI di Kuching.” ujar Jasmin Umar, ketua rombongan. Peserta pun setuju, untuk rapi-rapi.

Pukul 10.00 waktu Malaysia, rombongan Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) yang melakukan tour ke Kuching tiba di Konsulat Jenderal Republik Indonesia, Jalan Padungan, Bangunan Binamas, lantai 6, Kuching.

Peserta diterima Atik, seorang staf konsulat di pintu masuk lantai dasar. “Sile ke sixth floor.” Dengan ramah dan santun Atik mempersilahkan rombongan untuk menaiki lift.
Atik mendampingi rombongan menuju ruang pertemuan. Pintu ke empat sisi kanan bangunan dari lift. “Saye belom pernah ke Indon, dan asli Malay,” ujarnya ramah memberitahu sambil tersenyum.

Perempuan muda cantik yang mengenakan kerudung itu hanya mengantarkan hingga di depan pintu ruang pertemuan. “Bapak Rafael dan Bapak Dekiwarto,” Atik memperkenalkan dua orang staf konsulat jenderal, yang berdiri di bagian dalam kedua pintu ruang pertemuan.

Ruangan itu luas, dengan dinding yang dicat putih. Beberapa alat musik seperti angklung terpajang di lemari dinding. Gambar Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kala terpajang seakan mengawal Burung Garuda lambing NKRI. Bendera merah putih pun berdiri di sebelahnya. ‘’Ini asli seperti di Indonesia,,’’ celetuk salah seorang anggota rombongan yang dibalas salah seorang staf konsulat, ‘’Memang. Ini negeri kita. Kita berkuasa penuh di rumah kita ini,’’ katanya dengan semangat.

Beberapa bangunan tinggi dari luar jendela bertirai putih yang ditarik, tampak jelas dari ruangan itu. Kursi berwarna hitam, disusun memanjang beberapa baris sesuai dengan jumlah rombongan dan tiga staf konsulat jenderal. Suguhan roti, coffemix, minuman kemasan gelas, dan teh sachet tertata rapi di atas meja panjang beralaskan taplak meja berwarna putih.

Bambang Prionggo, Kepala Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Kuching tiba di ruangan sepuluh menit kemudian. “Minggu lalu, saya juga menerima rombongan tamu para anggota DPRD dan Bupati dari Kalimantan Barat,” ujarnya ramah.

Selesai menikmati sajian yang dihidangkan, pertemuan dan diskusi antara rombongan IPKB dan Konsulat Jenderal RI pun dimulai. Ketua rombongan Yasmir Umar duduk di depan, bersama Bambang.

“Kami ingin bersilaturahmi dan belajar mengenai penanganan Keluarga Berencana yang dilakukan di Malaysia,” ungkap Yasmir Umar, memberitahukan mengenai tujuan kedatangan rombongan.

Rombongan yang terdiri para journalis berbagai media di Indonesia serta dari jajaran BKKBN diperkenalkan dengan staf konsulat oleh Bambang. Staf tersebut adalah Rafael Walangitan sebagai kepala konsuler dan ekonomi, yang menangani bidang kerja kantor, staf, keuangan, dan pejabat fungsional ekonomi. Dekiwarto sebagai staf pelaksana fungsi imigrasi, yang menangani pembuatan paspor baru bagi 220 ribu warga negara RI di Malaysia, dari Kuching hingga ujung Miri. Abdullah Jafar sebagai staf pelaksana fungsional hubungan sosial dan kontrol budaya. Didik Zulhadi sebagai staf konsuler untuk perlindungan dan bantuan hukum bagi para pekerja Indonesia di Malaysia.
Menurut Bambang, mereka bertugas untuk melindungi para pekerja Indonesia tanpa melihat suku, kepentingan politik, orang kaya, atau orang miskin. “Semua kita tangani sampai hal-hal yang sederhana,” ujar Bambang.

Ia pun bercerita banyak hal, mulai dari persoalan TKI, penjualan manusia, pelintas batas, masalah ekonomi, politik termasuk soal laskar taniah, persoalan pendidikan serta masalah program keluarga berencana.

Penanganan keluarga berencana di Malaysia, menurut Bambang, berbeda dengan yang ada di Indonesia. “Di sini tidak ada batasan untuk memiliki anak,” ujar Bambang sambil tersenyum.

Kuching sendiri dipimpin oleh dua pemerintahan yang dibagi berdasarkan wilayah, utara dan selatan. Kuching utara, merupakan daerah dengan penduduk mayoritas beretnis Cina, dan dipimpin oleh wali kota beretnis Cina. Kuching selatan, daerah dengan penduduk yang beragam, Melayu, Dayak, India, dan dipimpin oleh Walikota beretnis campuran.
Target pemerintah Malaysia terhadap jumlah penduduknya adalah 70 juta.

“Tapi sekarang, hanya ada 20 juta penduduk saja.” Bahkan, penduduk Kuching yang memiliki tiga atau empat anak, akan mendapatkan tunjangan dari pemerintah.”Di Kucing Utara hanya dua ratus ribu penduduk. Tidak ada yang repot,” ujar Bambang.

Meskipun Malaysia tidak membatasi jumlah anak dalam keluarga, Malaysia lebih menekankan pada bidang pendidikan. “Anak-anak di sini mendapatkan bantuan biaya pendidikan hingga mereka menamatkan pendidikannya sampai sarjana. Bantuan tersebut dapat mereka ganti dengan cara mencicil, apabila mereka sudah bekerja.” ujar Bambang menerangkan.

Pendidikan anak di Malaysia, wajib mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Hal ini, lanjut Bambang, menghasilkan para intelektual yang handal. Dukungan pemerintah Malaysia dalam bidang pendidikan, merupakan persiapan Sumber Daya Manusia yang memasuki pelita kesembilan. Target Malaysia pada 2020 adalah kemajuan seluruh masyarakat Malaysia dalam hal kemampuan dan keterampilan yang mampu bersaing dengan Amerika. “Di sini, internet sudah masuk sampai pelosok,” ujar Bambang. Pendidikan yang diterapkan Malaysia, merupakan pendidikan yang mengarah pada teknologi berbasis high-tech.

Pembangunan di Malaysia, sudah sangat maju dibandingkan Indonesia. Masyarakat Malaysia juga sangat menjaga kebersihan. “Kebersihan sangat ditekankan oleh pemerintah Malaysia. Tak heran, sampah di jalanan Malaysia tidak ada.” ujar Bambang memberitahu.

Sementara itu, program Keluarga Berencana di Indonesia harus tetap dilaksanakan, karena penduduknya sudah terlalu padat. Sehingga kalau tidak dikendalikan akan membawa dampak pada persoalan kependudukan secara makro, seperti persoalan pendidikan, kesehatan, ketersediaan sandang, pangan lapangan pekerjaa dan lainnya.

Lapangan pekerjaan yang ada juga sangat sedikit, sehingga kompetisi yang terjadipun semakin sulit. Padahal, yang paling utama adalah lapangan kerja. Sebab, kurangnya lapangan pekerjaan di Indonesia, menyebabkan meningkatnya pengangguran dan bukan tidak mungkin akan berakibat terjadinya peningkatan angka tindak kejahatan.

Diskusi berhenti saat makan siang, pukul 11.30 waktu setempat. Setelah menyelesaikan santapan, dilakukan penyerahan kenang-kenangan dari rombongan IPKB untuk Konsulat Jenderal RI.***



Klik disini untuk melanjutkan »»

Saturday, 24 May 2008

* Ketika Riau di Ambang Ledakan Penduduk

. Saturday, 24 May 2008
0 komentar

* Pertumbuhan Penduduk Riau Ternyata Masih Tinggi

Oleh Drs Yasril

PERKIRAAN terjadinya ledakan penduduk di Riau ternyata bukan sekadar retorika belaka. Bahkan hal ini pun diakui Sekretaris Daerah Provinsi Riau Drs H Mambang Mit dalam forum resmi, Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) BKKBN Riau beberapa waktu lalu. Berdasarkan amatan di lapangan, ternyata ada kecenderungan jumlah anak yang lahir dari keluarga tidak mampu di Riau lebih banyak dibanding anak yang lahir dari keluarga menengah ke atas. Artinya kontribusi ledakan penduduk dan pertambahan jumlah penduduk miskin juga berasal dari kalangan keluarga tidak mampu atau dengan istilah keluarga pra sejahtera.

Meski sejumlah pejabat daerah ini berdalih bahwa faktor penyebab terjadinya ledakan penduduk Riau bukan saa akibat kelahiran, tapi juga dinominasi oleh faktor mobilitas penduduk, baik migrasi maupun transmigrasi dari daerah lain ke wilayah Riau, namun yang pasti data berbicara bahwa telah terjadi peningkatan tiga kali lipat jumlah penduduk Riau dari tahun 1980 hingga 2006 lalu.

Tahun 1980 lalu jumlah penduduk Riau termasuk Kepri hanya sebanyak 1.741.184 jiwa. Namun setelah tahun 2006, berdasarkan hasil Susenas 2006, jumlah penduduk Riau mencapai 4.614.930 jiwa dengan angka pertumbuhan 4,5 persen setiap tahunnya. Artinya telah terjadi peningkatan jumlah penduduk tiga kali lipat. Data tahun 2006 itu pun tidak termasuk lagi jumlah penduduk Kepulauan Riau, karena wilayah itu telah resmi berpisah dengan Riau daratan.
Bahkan Sekdaprov Riau Mambang Mit pun memaparkan bahwa jumlah penduduk Riau di tahun 2007 sudah mencapai 5.070.952 jiwa dengan pertumbuhan pendu­duk 5,23. ‘’Mereka ini tersebar di 1.539 desa/kelura­han yang ada di 148 kecamatan pada 11 kabupaten kota di Riau,’’ paparnya.

Tidak hanya itu, Bappeda Riau pun telah memprediksi pertambahan Penduduk Riau untuk dua tahun ke depan. Di mana pada tahun 2008 jumlahnya di­perkirakan mencapai 5.178.900 jiwa dengan angka pertumbuhan 4,19 persen dan pada tahun 2009 sebanyak 5.303.200 jiwa dengan angka pertumbuhan 3,73 persen.

Lantas apa yang diperdapat Riau dengan jumlah penduduk yang membengak itu? Apakah angka besar tersebut akan mampu meningkatkan derajat dan kualitas keluarga yang bermuara pada peningkatan sumber daya manusia (SDM) Atau malah sebaliknya akan menjadi beban pemerintah, masyarakat dengan berbagai persoalan kependudukan di masa depan.
Apakah prediksi angka-angka besar ini juga akan meningkatkan komitmen pemerintah memenuhi hak-hak dasar penduduknya, baik dari segi peningkatan infrastruktur, peningkatan layanan pendidikan, mempermudah akses pelayanan kesehatan, pembukaan lapangan kerja baru dan masih banyak segudang persoalan kependudukan yang sudah berada di depan mata.
Kondisi ini tidak saja akan dialami ribuan masyarakat miskin yang berada di daerah-daerah pesisir pantai, desa-desa terisisolir, dusun-dusun yang jauh di pelosok desa, tapi juga dirasakan oleh ribuan warga di perkotaan dari berbagai lapisan dan jenjang strata.

Namun yang pasti, ketika angka bicara, barulah sejumlah pejabat, termasuk Sekdaprov Riau sadar akan arti penting program keluarga berencana. Ia pun membolak-balik pengalaman yang dilakukan semasa menjabat di pemerintahan selama ini.

Setidaknya ia pun berucap bahwa ternyata membengkaknya jumlah penduduk, tingginya angka kemiskinan juga disumbangkan oleh tingginya angka kelahiran anak dari kalangan keluarga tidak mampu atau pra sejahtera dibanding jumlah anak yang dilahirkan dari keluarga yang berada. Ia pun bepegang pada konsep bahwa keluarga miskin akan melahirkan anggota keluarga atau penduduk miskin pula.

Artinya, mereka akan tetap mengalami kesulitan dalam memenuhi hak-hak dasar sebagai seorang manusia, seperti hak mendapat pendidikan yang layak, kesehatan yang memadai, pekerjaan yang layak, disamping sulitnya memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan lainnya.
''Setelah saya cermati sendiri di lapangan, tern­yata jumlah anak (fertilitas) penduduk miskin di Riau lebih banyak dibanding anak dari penduduk yang lebih mampu. Mereka ini banyak tersebar di desa-desa, pingiran, pesisir, bahkan juga di kawasan-kawasan kumuh di kota-kota,'' katanya lagi.

Di sinilah pentingnya kembali mengembangkan wacana untuk hidup dalam kerangka keluarga berencana. Dengan dicanangkannya kembali (re-launching) lingkaran biru Libi, diharapkan roh kelurag berencana dengan konsep norma keluarga kecil bahagia sejahtera (NKKBS) yang dulu jadi primadona pemerintah bias kembali berjaya.

Hal ini cukup beralasan. Apabila kita amati perjalanan program KB di Riau pada awal tahun 1980, kata Mambang Mit, sesungguhnya telah banyak keberha­silan yang diperoleh yang ditandai dengan dukungan dari berbagai sektor, baik pemerintah, swasta, LSM, organisasi masyarakat maupun institusi masyarakat.

Dalam pada itu, Kepala BKKBN Riau Drs H Marlis Alamsa mengatakan, kecemasan jajaran BKKBN sebelum desentralisasi sekitar tahun 2004 lalu ternyat terbukti. Selain lembaga BKKBN yang selama ini mengakar, program pun sudah banyak tak jalan di tingkat terendah. Bahkan jangankan laporan, aparaturnya termasuk tenaga petugas penyuluh lapangan KB (PPLKB) pun banyak yang tidak ada lagi.

‘’Sekarang nasi itu telah jadi bubur, untuk menghasilkan nasi yang baru kita terpaksa memasak beras dari semula. Ini artinya, tidak ada perlku penyesalan, satu hal yang masih kita miliki adalah semangat bagaimana menyelamatkan rakyat, bagaimana mensejahterakan rakyat dan bagaimana menciptakan keluarga yang berkualitas. Sebab, seperti kata Presiden, negara yang berkualitas akan ditentukan oleh SDM yang erkualitas. Dan itu harus dimulai dari dalam keluarga. Inilah tugas kita bersama,’’ papar Marlis Alamsa.***

Drs Yasril
Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Riau.

Klik disini untuk melanjutkan »»

YASRIL RIAU Desain ByHendrawan and Support by Ridwan CCMD. All Right Seserved

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com | Power by blogtemplate4u.com