Oleh Drs Yasril
KEMARIN, Kamis (29/5/2008), saya terkesima membaca berbagai media cetak dengan judul beragam tapi maksudnya tetap satu, yakni pengangguran dan kemiskinan di Riau menurun. Gubernur Riau HM Rusli Zainal mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan bahwa pada tahun 2005 angka kemiskinan sebesar 14,67 persen, tahun 206 turun jadi 13,34 persen dan tahun 2007 turun lagi jadi 11,25 persen. Begitu juga halnya dengan data pengangguran pada tahun 2005 sebesar 13,91 persen, tahun 2006 turun jadi 11,45 persen dan tahun 2007 menjadi 10,39 persen.
Berbagai pertanyaan muncul di pikiran saya. Apakah memang benar jumlah masyarakat Riau yang miskin itu sudah berkurang atau malah sebaliknya meningkat, tapi tidak dilaporkan seperti apa adanya. Atau ini merupakan bahagian dari live service untuk menyenangkan hati gubernur. Kalaulah memang pada tahun 2006 dan 2007 sudah diketahui penurunan angka kemiskinan di daerah ini, lantas kenapa data masyarakat miskin yang diturunkan pemerintah pusat pusat masih menggunakan data tahun 2005 lalu. Pertanyaan lainnya kenapa data tentang kemiskinan di Riau tidak diverifikasi di level nasional.
Ada apa dengan lembaga-lembaga atau instansi pemerintah yang mengolah data saat ini? Kenapa dari 5.000 kecamatan yang ada di Indonesia hanya baru 1.000 kecamatan yang telah memverifikasi data, tidak termasuk Riau. Ada apa??? Berjibun pertanyaan lainnya muncul yang ujung-ujungnya bermuara pada upaya peningkatan kesejahteraan rakyat Riau ini.
Memang, kata miskin dan pengangguran bahkan juga putus sekolah merupakan hal yang paling tidak enak didengar dan dialami. Bahkan tidak ada satu orang pun di dunia ini yang bersedia jadi miskin, jadi pengangguran dan putus sekolah. Namun itulah kodrat alam, selalu ada dua, miskin-kaya, tua-muda, lelaki-perempuan kerja-menganggur dan sebagainya.
Kemiskinan di kalangan rakyat selalu jadi perhatian, bahkan jadi bahan gunjingan, tidak hanya oleh masyarakat dan pemerintah, tapi juga para politisi, dan ada saja yang mempolitisirnya, terlebih lagi menjelang masa-masa suksesi kepemimpinan seperti sekarang. Kondisi ini pun terjadi di negeri yang bernama Riau.
Lebih unik lagi, adakalanya jumlah kemiskinan yang besar ini diperlukan, baik oleh pemerintah maupun politisi, terutama dalam upaya menyedot anggaran yang dialokasikan pemerintah pusat, entah dalam bentuk kompensasi BBM, dana bagi hasil migas, asuransi kesehatan, dana pendidikan dan sebagainya. Sehingganya hampir setiap daerah berlomba-lomba memperbesar jumlah angka kemiskinan, dengan harapan dana yang mengalir ke daerah pun lebih besar. Meski pun di daerah sendiri belum tentu mampu memanfaatkan dana besar itu untuk kesejahteraan rakyat kecil.
Padahal, kalaupun ada dana yang dialokasikan pusat ke daerah, belum tentu pula akan sampai ke rakyat yang termarjinalkan. Bahkan bukan tidak mungkin, dana tersebut pun tersangkut di kebijakan-kebijakan pengambil keputusan di suatu daerah. Sehingga tidak heran kalau ada sikap fesimis dari sebagian warga dan beranggapan bahwa yang kaya akan tetap kaya dan miskin makin
miskin.
Tetapi di balik semua itu, ada kalanya kemiskinan pun jadi bahan gunjingan bagi politisi, dan dijadikan komoditas politik untuk menarik simpati rakyat, terutama pada saat-saat masa suksesi.
Ini akan terlihat nyata, bagi politisi yang kadernya tengah berkuasa dan berupaya untuk kembali berkuasa akan selalu memperkecil tingkat kemiskinan rakyat, pengangguran, anak putus sekolah dan sebagainya. Ini tidak saja terjadi di level kabupaten/kota atau distrik, tapi juga di tingkat provinsi dan nasional. Bahkan isu kemiskinan ini pun selalu didengungkan para politisi negara lain dengan tujuan yang sama.
Sementara oleh lawan politiknya, angka ini pun dibesar-besarkan dengan sasaran tujuan ingin memperlihatkan gambaran bahwa ini bukti ketidakberhasilan pemerintah berkuasa. Mereka tidak akan bicara dengan data-data yang dilansir pemerintah secara resmi tapi lebih pada data lapangan yang dianggap inilah realita yang terjadi.
Ternyata sikap apatis dan fesimis seakan sudah melekat di lubuk hati mereka. Bagi mereka besar kecil angka kemiskinan tak perlu. Yang peniting, perut berisi, anak-anak sekolah, ada tempat bernaung. Begitu juga dengan kondisi sekarang di saat pemerintah menyalurkan bantuan langsung tunai yang penting bantuan itu benar-benar sampai dan dirasakan masyarakat banyak. Makanya marilah kita kembali berorientasi pada kepentingan orang banyak demi kemakmuran rakyat demi kemajuan masyarakt Riau ke depan. Jangan lagi data-data kependudukan itu dipolitisir demi kepentingan kelompok.***
Yasril, Pengurus Ikatan Peminat dan Ahli Demografi (IPADI) Riau yang juga Ketua IPKB Riau
Klik disini untuk melanjutkan »»
KEMARIN, Kamis (29/5/2008), saya terkesima membaca berbagai media cetak dengan judul beragam tapi maksudnya tetap satu, yakni pengangguran dan kemiskinan di Riau menurun. Gubernur Riau HM Rusli Zainal mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan bahwa pada tahun 2005 angka kemiskinan sebesar 14,67 persen, tahun 206 turun jadi 13,34 persen dan tahun 2007 turun lagi jadi 11,25 persen. Begitu juga halnya dengan data pengangguran pada tahun 2005 sebesar 13,91 persen, tahun 2006 turun jadi 11,45 persen dan tahun 2007 menjadi 10,39 persen.
Berbagai pertanyaan muncul di pikiran saya. Apakah memang benar jumlah masyarakat Riau yang miskin itu sudah berkurang atau malah sebaliknya meningkat, tapi tidak dilaporkan seperti apa adanya. Atau ini merupakan bahagian dari live service untuk menyenangkan hati gubernur. Kalaulah memang pada tahun 2006 dan 2007 sudah diketahui penurunan angka kemiskinan di daerah ini, lantas kenapa data masyarakat miskin yang diturunkan pemerintah pusat pusat masih menggunakan data tahun 2005 lalu. Pertanyaan lainnya kenapa data tentang kemiskinan di Riau tidak diverifikasi di level nasional.
Ada apa dengan lembaga-lembaga atau instansi pemerintah yang mengolah data saat ini? Kenapa dari 5.000 kecamatan yang ada di Indonesia hanya baru 1.000 kecamatan yang telah memverifikasi data, tidak termasuk Riau. Ada apa??? Berjibun pertanyaan lainnya muncul yang ujung-ujungnya bermuara pada upaya peningkatan kesejahteraan rakyat Riau ini.
Memang, kata miskin dan pengangguran bahkan juga putus sekolah merupakan hal yang paling tidak enak didengar dan dialami. Bahkan tidak ada satu orang pun di dunia ini yang bersedia jadi miskin, jadi pengangguran dan putus sekolah. Namun itulah kodrat alam, selalu ada dua, miskin-kaya, tua-muda, lelaki-perempuan kerja-menganggur dan sebagainya.
Kemiskinan di kalangan rakyat selalu jadi perhatian, bahkan jadi bahan gunjingan, tidak hanya oleh masyarakat dan pemerintah, tapi juga para politisi, dan ada saja yang mempolitisirnya, terlebih lagi menjelang masa-masa suksesi kepemimpinan seperti sekarang. Kondisi ini pun terjadi di negeri yang bernama Riau.
Lebih unik lagi, adakalanya jumlah kemiskinan yang besar ini diperlukan, baik oleh pemerintah maupun politisi, terutama dalam upaya menyedot anggaran yang dialokasikan pemerintah pusat, entah dalam bentuk kompensasi BBM, dana bagi hasil migas, asuransi kesehatan, dana pendidikan dan sebagainya. Sehingganya hampir setiap daerah berlomba-lomba memperbesar jumlah angka kemiskinan, dengan harapan dana yang mengalir ke daerah pun lebih besar. Meski pun di daerah sendiri belum tentu mampu memanfaatkan dana besar itu untuk kesejahteraan rakyat kecil.
Padahal, kalaupun ada dana yang dialokasikan pusat ke daerah, belum tentu pula akan sampai ke rakyat yang termarjinalkan. Bahkan bukan tidak mungkin, dana tersebut pun tersangkut di kebijakan-kebijakan pengambil keputusan di suatu daerah. Sehingga tidak heran kalau ada sikap fesimis dari sebagian warga dan beranggapan bahwa yang kaya akan tetap kaya dan miskin makin
miskin.
Tetapi di balik semua itu, ada kalanya kemiskinan pun jadi bahan gunjingan bagi politisi, dan dijadikan komoditas politik untuk menarik simpati rakyat, terutama pada saat-saat masa suksesi.
Ini akan terlihat nyata, bagi politisi yang kadernya tengah berkuasa dan berupaya untuk kembali berkuasa akan selalu memperkecil tingkat kemiskinan rakyat, pengangguran, anak putus sekolah dan sebagainya. Ini tidak saja terjadi di level kabupaten/kota atau distrik, tapi juga di tingkat provinsi dan nasional. Bahkan isu kemiskinan ini pun selalu didengungkan para politisi negara lain dengan tujuan yang sama.
Sementara oleh lawan politiknya, angka ini pun dibesar-besarkan dengan sasaran tujuan ingin memperlihatkan gambaran bahwa ini bukti ketidakberhasilan pemerintah berkuasa. Mereka tidak akan bicara dengan data-data yang dilansir pemerintah secara resmi tapi lebih pada data lapangan yang dianggap inilah realita yang terjadi.
Ternyata sikap apatis dan fesimis seakan sudah melekat di lubuk hati mereka. Bagi mereka besar kecil angka kemiskinan tak perlu. Yang peniting, perut berisi, anak-anak sekolah, ada tempat bernaung. Begitu juga dengan kondisi sekarang di saat pemerintah menyalurkan bantuan langsung tunai yang penting bantuan itu benar-benar sampai dan dirasakan masyarakat banyak. Makanya marilah kita kembali berorientasi pada kepentingan orang banyak demi kemakmuran rakyat demi kemajuan masyarakt Riau ke depan. Jangan lagi data-data kependudukan itu dipolitisir demi kepentingan kelompok.***
Yasril, Pengurus Ikatan Peminat dan Ahli Demografi (IPADI) Riau yang juga Ketua IPKB Riau