* Pertumbuhan Penduduk Riau Ternyata Masih Tinggi
Oleh Drs Yasril
PERKIRAAN terjadinya ledakan penduduk di Riau ternyata bukan sekadar retorika belaka. Bahkan hal ini pun diakui Sekretaris Daerah Provinsi Riau Drs H Mambang Mit dalam forum resmi, Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) BKKBN Riau beberapa waktu lalu. Berdasarkan amatan di lapangan, ternyata ada kecenderungan jumlah anak yang lahir dari keluarga tidak mampu di Riau lebih banyak dibanding anak yang lahir dari keluarga menengah ke atas. Artinya kontribusi ledakan penduduk dan pertambahan jumlah penduduk miskin juga berasal dari kalangan keluarga tidak mampu atau dengan istilah keluarga pra sejahtera.
Meski sejumlah pejabat daerah ini berdalih bahwa faktor penyebab terjadinya ledakan penduduk Riau bukan saa akibat kelahiran, tapi juga dinominasi oleh faktor mobilitas penduduk, baik migrasi maupun transmigrasi dari daerah lain ke wilayah Riau, namun yang pasti data berbicara bahwa telah terjadi peningkatan tiga kali lipat jumlah penduduk Riau dari tahun 1980 hingga 2006 lalu.
Tahun 1980 lalu jumlah penduduk Riau termasuk Kepri hanya sebanyak 1.741.184 jiwa. Namun setelah tahun 2006, berdasarkan hasil Susenas 2006, jumlah penduduk Riau mencapai 4.614.930 jiwa dengan angka pertumbuhan 4,5 persen setiap tahunnya. Artinya telah terjadi peningkatan jumlah penduduk tiga kali lipat. Data tahun 2006 itu pun tidak termasuk lagi jumlah penduduk Kepulauan Riau, karena wilayah itu telah resmi berpisah dengan Riau daratan.
Bahkan Sekdaprov Riau Mambang Mit pun memaparkan bahwa jumlah penduduk Riau di tahun 2007 sudah mencapai 5.070.952 jiwa dengan pertumbuhan penduduk 5,23. ‘’Mereka ini tersebar di 1.539 desa/kelurahan yang ada di 148 kecamatan pada 11 kabupaten kota di Riau,’’ paparnya.
Tidak hanya itu, Bappeda Riau pun telah memprediksi pertambahan Penduduk Riau untuk dua tahun ke depan. Di mana pada tahun 2008 jumlahnya diperkirakan mencapai 5.178.900 jiwa dengan angka pertumbuhan 4,19 persen dan pada tahun 2009 sebanyak 5.303.200 jiwa dengan angka pertumbuhan 3,73 persen.
Lantas apa yang diperdapat Riau dengan jumlah penduduk yang membengak itu? Apakah angka besar tersebut akan mampu meningkatkan derajat dan kualitas keluarga yang bermuara pada peningkatan sumber daya manusia (SDM) Atau malah sebaliknya akan menjadi beban pemerintah, masyarakat dengan berbagai persoalan kependudukan di masa depan.
Apakah prediksi angka-angka besar ini juga akan meningkatkan komitmen pemerintah memenuhi hak-hak dasar penduduknya, baik dari segi peningkatan infrastruktur, peningkatan layanan pendidikan, mempermudah akses pelayanan kesehatan, pembukaan lapangan kerja baru dan masih banyak segudang persoalan kependudukan yang sudah berada di depan mata.
Kondisi ini tidak saja akan dialami ribuan masyarakat miskin yang berada di daerah-daerah pesisir pantai, desa-desa terisisolir, dusun-dusun yang jauh di pelosok desa, tapi juga dirasakan oleh ribuan warga di perkotaan dari berbagai lapisan dan jenjang strata.
Namun yang pasti, ketika angka bicara, barulah sejumlah pejabat, termasuk Sekdaprov Riau sadar akan arti penting program keluarga berencana. Ia pun membolak-balik pengalaman yang dilakukan semasa menjabat di pemerintahan selama ini.
Setidaknya ia pun berucap bahwa ternyata membengkaknya jumlah penduduk, tingginya angka kemiskinan juga disumbangkan oleh tingginya angka kelahiran anak dari kalangan keluarga tidak mampu atau pra sejahtera dibanding jumlah anak yang dilahirkan dari keluarga yang berada. Ia pun bepegang pada konsep bahwa keluarga miskin akan melahirkan anggota keluarga atau penduduk miskin pula.
Artinya, mereka akan tetap mengalami kesulitan dalam memenuhi hak-hak dasar sebagai seorang manusia, seperti hak mendapat pendidikan yang layak, kesehatan yang memadai, pekerjaan yang layak, disamping sulitnya memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan lainnya.
''Setelah saya cermati sendiri di lapangan, ternyata jumlah anak (fertilitas) penduduk miskin di Riau lebih banyak dibanding anak dari penduduk yang lebih mampu. Mereka ini banyak tersebar di desa-desa, pingiran, pesisir, bahkan juga di kawasan-kawasan kumuh di kota-kota,'' katanya lagi.
Di sinilah pentingnya kembali mengembangkan wacana untuk hidup dalam kerangka keluarga berencana. Dengan dicanangkannya kembali (re-launching) lingkaran biru Libi, diharapkan roh kelurag berencana dengan konsep norma keluarga kecil bahagia sejahtera (NKKBS) yang dulu jadi primadona pemerintah bias kembali berjaya.
Hal ini cukup beralasan. Apabila kita amati perjalanan program KB di Riau pada awal tahun 1980, kata Mambang Mit, sesungguhnya telah banyak keberhasilan yang diperoleh yang ditandai dengan dukungan dari berbagai sektor, baik pemerintah, swasta, LSM, organisasi masyarakat maupun institusi masyarakat.
Dalam pada itu, Kepala BKKBN Riau Drs H Marlis Alamsa mengatakan, kecemasan jajaran BKKBN sebelum desentralisasi sekitar tahun 2004 lalu ternyat terbukti. Selain lembaga BKKBN yang selama ini mengakar, program pun sudah banyak tak jalan di tingkat terendah. Bahkan jangankan laporan, aparaturnya termasuk tenaga petugas penyuluh lapangan KB (PPLKB) pun banyak yang tidak ada lagi.
‘’Sekarang nasi itu telah jadi bubur, untuk menghasilkan nasi yang baru kita terpaksa memasak beras dari semula. Ini artinya, tidak ada perlku penyesalan, satu hal yang masih kita miliki adalah semangat bagaimana menyelamatkan rakyat, bagaimana mensejahterakan rakyat dan bagaimana menciptakan keluarga yang berkualitas. Sebab, seperti kata Presiden, negara yang berkualitas akan ditentukan oleh SDM yang erkualitas. Dan itu harus dimulai dari dalam keluarga. Inilah tugas kita bersama,’’ papar Marlis Alamsa.***
Drs Yasril
Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Riau.
Oleh Drs Yasril
PERKIRAAN terjadinya ledakan penduduk di Riau ternyata bukan sekadar retorika belaka. Bahkan hal ini pun diakui Sekretaris Daerah Provinsi Riau Drs H Mambang Mit dalam forum resmi, Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) BKKBN Riau beberapa waktu lalu. Berdasarkan amatan di lapangan, ternyata ada kecenderungan jumlah anak yang lahir dari keluarga tidak mampu di Riau lebih banyak dibanding anak yang lahir dari keluarga menengah ke atas. Artinya kontribusi ledakan penduduk dan pertambahan jumlah penduduk miskin juga berasal dari kalangan keluarga tidak mampu atau dengan istilah keluarga pra sejahtera.
Meski sejumlah pejabat daerah ini berdalih bahwa faktor penyebab terjadinya ledakan penduduk Riau bukan saa akibat kelahiran, tapi juga dinominasi oleh faktor mobilitas penduduk, baik migrasi maupun transmigrasi dari daerah lain ke wilayah Riau, namun yang pasti data berbicara bahwa telah terjadi peningkatan tiga kali lipat jumlah penduduk Riau dari tahun 1980 hingga 2006 lalu.
Tahun 1980 lalu jumlah penduduk Riau termasuk Kepri hanya sebanyak 1.741.184 jiwa. Namun setelah tahun 2006, berdasarkan hasil Susenas 2006, jumlah penduduk Riau mencapai 4.614.930 jiwa dengan angka pertumbuhan 4,5 persen setiap tahunnya. Artinya telah terjadi peningkatan jumlah penduduk tiga kali lipat. Data tahun 2006 itu pun tidak termasuk lagi jumlah penduduk Kepulauan Riau, karena wilayah itu telah resmi berpisah dengan Riau daratan.
Bahkan Sekdaprov Riau Mambang Mit pun memaparkan bahwa jumlah penduduk Riau di tahun 2007 sudah mencapai 5.070.952 jiwa dengan pertumbuhan penduduk 5,23. ‘’Mereka ini tersebar di 1.539 desa/kelurahan yang ada di 148 kecamatan pada 11 kabupaten kota di Riau,’’ paparnya.
Tidak hanya itu, Bappeda Riau pun telah memprediksi pertambahan Penduduk Riau untuk dua tahun ke depan. Di mana pada tahun 2008 jumlahnya diperkirakan mencapai 5.178.900 jiwa dengan angka pertumbuhan 4,19 persen dan pada tahun 2009 sebanyak 5.303.200 jiwa dengan angka pertumbuhan 3,73 persen.
Lantas apa yang diperdapat Riau dengan jumlah penduduk yang membengak itu? Apakah angka besar tersebut akan mampu meningkatkan derajat dan kualitas keluarga yang bermuara pada peningkatan sumber daya manusia (SDM) Atau malah sebaliknya akan menjadi beban pemerintah, masyarakat dengan berbagai persoalan kependudukan di masa depan.
Apakah prediksi angka-angka besar ini juga akan meningkatkan komitmen pemerintah memenuhi hak-hak dasar penduduknya, baik dari segi peningkatan infrastruktur, peningkatan layanan pendidikan, mempermudah akses pelayanan kesehatan, pembukaan lapangan kerja baru dan masih banyak segudang persoalan kependudukan yang sudah berada di depan mata.
Kondisi ini tidak saja akan dialami ribuan masyarakat miskin yang berada di daerah-daerah pesisir pantai, desa-desa terisisolir, dusun-dusun yang jauh di pelosok desa, tapi juga dirasakan oleh ribuan warga di perkotaan dari berbagai lapisan dan jenjang strata.
Namun yang pasti, ketika angka bicara, barulah sejumlah pejabat, termasuk Sekdaprov Riau sadar akan arti penting program keluarga berencana. Ia pun membolak-balik pengalaman yang dilakukan semasa menjabat di pemerintahan selama ini.
Setidaknya ia pun berucap bahwa ternyata membengkaknya jumlah penduduk, tingginya angka kemiskinan juga disumbangkan oleh tingginya angka kelahiran anak dari kalangan keluarga tidak mampu atau pra sejahtera dibanding jumlah anak yang dilahirkan dari keluarga yang berada. Ia pun bepegang pada konsep bahwa keluarga miskin akan melahirkan anggota keluarga atau penduduk miskin pula.
Artinya, mereka akan tetap mengalami kesulitan dalam memenuhi hak-hak dasar sebagai seorang manusia, seperti hak mendapat pendidikan yang layak, kesehatan yang memadai, pekerjaan yang layak, disamping sulitnya memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan lainnya.
''Setelah saya cermati sendiri di lapangan, ternyata jumlah anak (fertilitas) penduduk miskin di Riau lebih banyak dibanding anak dari penduduk yang lebih mampu. Mereka ini banyak tersebar di desa-desa, pingiran, pesisir, bahkan juga di kawasan-kawasan kumuh di kota-kota,'' katanya lagi.
Di sinilah pentingnya kembali mengembangkan wacana untuk hidup dalam kerangka keluarga berencana. Dengan dicanangkannya kembali (re-launching) lingkaran biru Libi, diharapkan roh kelurag berencana dengan konsep norma keluarga kecil bahagia sejahtera (NKKBS) yang dulu jadi primadona pemerintah bias kembali berjaya.
Hal ini cukup beralasan. Apabila kita amati perjalanan program KB di Riau pada awal tahun 1980, kata Mambang Mit, sesungguhnya telah banyak keberhasilan yang diperoleh yang ditandai dengan dukungan dari berbagai sektor, baik pemerintah, swasta, LSM, organisasi masyarakat maupun institusi masyarakat.
Dalam pada itu, Kepala BKKBN Riau Drs H Marlis Alamsa mengatakan, kecemasan jajaran BKKBN sebelum desentralisasi sekitar tahun 2004 lalu ternyat terbukti. Selain lembaga BKKBN yang selama ini mengakar, program pun sudah banyak tak jalan di tingkat terendah. Bahkan jangankan laporan, aparaturnya termasuk tenaga petugas penyuluh lapangan KB (PPLKB) pun banyak yang tidak ada lagi.
‘’Sekarang nasi itu telah jadi bubur, untuk menghasilkan nasi yang baru kita terpaksa memasak beras dari semula. Ini artinya, tidak ada perlku penyesalan, satu hal yang masih kita miliki adalah semangat bagaimana menyelamatkan rakyat, bagaimana mensejahterakan rakyat dan bagaimana menciptakan keluarga yang berkualitas. Sebab, seperti kata Presiden, negara yang berkualitas akan ditentukan oleh SDM yang erkualitas. Dan itu harus dimulai dari dalam keluarga. Inilah tugas kita bersama,’’ papar Marlis Alamsa.***
Drs Yasril
Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Riau.
0 komentar:
Post a Comment