Catatan Akhir Pekan
Oleh YASRIL
Asisten Redaktur Pelaksana
‘’MENCARI yang tidak halal saja susah, apalagi yang halal. Resikonya ya, dipukuli orang’’ kata seorang penumpang oplet ketika melihat seorang copet dipermak massa.
Begitu ketatnya persaingan, sehingga sering orang lupa akan nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan etika-etika berlaku dalam menjalani kehidupan dan menghalalkan segala cara. Bahkan tidak sedikit orang berupaya membuat pembenaran-pembenaran sepihak. Sehingga yang salah pun terkadang dianggap sebagai hal yang lumrah.
Seperti yang dilakukan seorang copet. Karena tuntutan kehidupannya dan tidak ada pekerjaan lain yang menjadi topangan hidup, kejahatan pun dianggap suatu hal yang biasa.
Dalam tatanan kehidupan bermasyaarakat, persoalan serupa tidak hanya bisa dijumpai di masyarakat awam saja, tapi juga di sebagian kalangan intelektual atau calon inteletual, pengusaha, calon PNS atau PNS, anggota dewan atau pun calon anggota legislatif (Caleg) dan sebagainya.
Di lembaga wakil rakyat misalnya. Untuk mencapai keinginan duduk di kursi parlemen atau dewan, seorang caleg yang diusung partai akan melakukan berbagai cara agar keinginannya tercapai. Ada yang melakukan sosialisasi kepada kontestannya jauh-jauh hari. Ada yang bersandar pada kekuatan uang, sehingga tak segan-segan menjual harta benda, tanah, ternak, rumah, dan sebagainya. Bahkan ada pula yang melakukan kecurangan seperti memalsukan dokumen-dokumen, seperti ijazah, kartu tanda penduduk (KTP) dan sebagainya.
Tidak cukup sampai di situ saja, setelah duduk di lembaga terhormat dengan penghasilan dan fasilitas wah, terkadang masih ada oknum-oknum anggota dewan yang berprilaku cowboy, yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu, adu jotos di forum resmi dan ditonton rakyat banyak, berprilaku tidak wajar seperti main perempuan dan tidak mencerminkan keterwakilan rakyat.
Sebut saja masih adanya oknum anggota dewan yang dibagi dalam komisi-komisi dan seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat, malah sebaliknya mencari komisi fulus dari pihak-pihak tertentu, seperti dari pengusaha, eksekutif dan sebagainya.
Sehingga tidak sedikit dari para wakil rakyat kita ini harus berhubungan dengan aparat penegak hukum. Bisa jadi tersandung kasus korupsi, menerima pemberian uang komisi, main perempuan.
Dan ini tidak hanya terjadi di satu dua partai politik, dan di level nasional saja, tapi merambah ke daerah, tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Pertanyaannya, apakah ini memang suatu hal yang lumrah? Atau akibat kurang ketatnya seleksi yang dilakukan, baik di tingkat partai, lembaga komisi pemilihan umum (KPU), panitia pengawas pemilu, atau pun kontestan sendiri yang asal pilih.
Sebagai contoh kurangnya selektifnya proses pemilihan caleg terlihat di saat pengumuman dan sosialisasi caleg ke masyarakat. Kontestan hanya diperlihatkan pada nama, foto dan nomor urut saja, sementara identitas calon lainnya tidak diumumkan, seperti ijazah, alamat tempat tinggal, pengalaman organisasi.
Pengumuman yang tidak transparan dari lembaga KPU ini jelas memberi andil terlahirnya caleg-caleg cowboy di parlemen. Sebab, tanpa pengumuman yang transparan itu masyarakat tidak bisa menilai, apakah para seorang calon itu sudah bersikap jujur atau malah sebaliknya melakukan pembohongan publik, seperti memalsukan ijazah atau KTP, pernah terpidana dan sebagainya.
Bahkan bisa jadi caleg yang diusung parpol itu tidak terbiasa dalam organisasi kemasyarakatan dan tidak memiliki pandangan luas terhadap kepentingan rakyat. Jika orang-orang seperti ini yang terpilih, bukan tidak mungkin setelah masuk ke lembaga terhormat hanya mampu datang duduk diam duait (4D).
Artinya masuk ke lembaga ini hanya untuk datang menandatangai absen, duduk sebentar, kalau pun ada yang akan dibahas hanya diam, karena tidak menguasai masalah dan ujung-ujungnya menerima duit atau uang honor.
Kalau inilah yang akan terjadi pada 2009 nanti, sungguh suatu penyesalan panjang bagi rakyat Indonesia. Karena baru bisa memilih lagi setelah lima tahun kedepan..
Tapi yang pasti, cara-cara seperti ini tidak boleh lagi terjadi di lembaga wakil rakyat. Wakil rakyat haruslah benar-benar menjadi lembaga yang menyuarakan aspirasi rakyat, bukan sebaliknya sebagai ladang rupiah atau dolar bagi mereka yang duduk di sana.
Nah, jika ini yang kita maksudkan, maka seharusnya pula, dalam Pemilu legislatif 2009 nanti, rakyat jangan lagi terkecoh oleh ulah oknum-oknum caleg yang bakal jadi cowboy di parlemen.***
yasril123@yahoo.co.id
yasrilriau.blogspot.com
0 komentar:
Post a Comment