Ketika Sistim Suara Terbanyak Diberlakukan
SIKAP individualisme ternyata meramah juga ke ranah politik, bahkan juga menimbulkan persaingan tidak sehat dan saling jegal antar sesama calon anggota legislatif pasca diberlakukannya sistem suara terbanyak.
Pemilihan anggota legislatif (anggota dewan) tahun 2009 ini merupakan suatu sejarah penting dalam sistem demokrasi di Indonesia. Sebab, dalam pemilihan kali ini menggunakan pola suara terbanyak. Tidak seperti berpuluh-puluh tahun silam yang memberlakukan sistem nomor urut dan konstituen atau rakyat pemilih hanya memilih lambang partai. Sedangkan yang akan duduk di lembaga legislatif ditentukan oleh partai berdasarkan posisi nomor urut pencalonan.
Disadari atau tidak, ternyata keputusan Mahkamah Agung ini ajuga membawa perubahan pada sikap dan prilaku elit partai dan para calon anggota partai. Salah satu yang kentara adalah menonjolnya sikap individualisme di kalangan para caleg.
Ini terlihat nyata dari cara mereka merebut simpati calon pemilih di daerah pemilihan masing-masing. Kalau selama berpuluh-puluh tahun silam, cara sosialisasi dan merebut simpati warga dilakukan secara bersama-sama dengan lebih menonjolkan lembaga partai masing-masing. Mereka turun serentak ke masyarakat, mengadakan acara, memberi bantuan dan sebagainya. Itu dilakukan secara bersama sehingga terlihat kekompakan antara pengurus partai, calon anggota legislatif dengan para pengurus tingkat lebih rendah, seperti dari pengurus kelurahan, kecamatan serta kader lainnya.
Dari segi perolehan suara dan kesempatan duduk di lembaga legislatif, lebih menguntungkan bagi calon dengan nomor atas, karena suara yang terkumpul akan dibagi berdasarkan nomor urut calon. Bagi yang memiliki nomor sepatu, jelas akan kecil peluang duduk di dewan, meski pun mereka memiliki suara terbanyak di banding caleg papan atas.
Namun, sejak diberlakukannya sistem suara terbanyak, suasan pun berubah. Kekompakan elit partai dengan para caleg pun mulai memudar. Para berjuang sendiri-sendiri untuk meraih perolehan suara terbanyak.
Tidak heran, meski jadwal kampanye belum diberlakukan, namun kampanye terselubung dengan dalih sosialisasi ke masyarakat telah berlangsung. Berbagai baleho, poster, spanduk, mulai dari ukuran kecil hingga besar bertebaran di pelosok negeri.
Semua alat kampanye itu terpasang, ada yang menempel di dinding-dinding toko dan ruko, di tiang-tiang listrik, terpajang di pinggir jalan, bahkan di kaca mobil, baik pribadi atau pun mobil umum.
Berbagai cara mereka lakukan secara perorangan. Kalau pun ada yang melakukan secara bersama, biasanya para caleg lebih memilih dengan caleg di tingkatan yang berbeda, ketimbang caleg se daerah pemilihan, meski mereka satu partai. Misalnya caleg kabupaten kota akan bekerja sama dengan caleg provinsi dan DPRD RI.
Satu hal yang cukup menarik untuk disimak, ternyata berdasarkan kenyataan di lapangan, tidak sedikit para caleg itu yang mengeluh karena terjadinya persaingan tidak sehat antar sesama partai satu daerah pemilihan. Saling timpal, saling robek, dan saling jegal pun terjadi. Kalau itu dilakukan caleg dari partai lain munkin lain cerita, namun ini dilakukan rekan satu partai.
Misalnya seorang caleg dari partai A yang atelah memasang spanduk dan gambar merasa terusik akibat ulah caleg lain dari partai A yang merobek dan menimpal gambar baru di atas gambar rekan se partainya di tempat yang sama. Kondisi ini terjadi di beberapa wilayah pemilihan di Riau.
Padahal, sebenarnya bisa disiasati dengan berbagai cara, seperti melakukan pemetakan dan bagi wilayah, atau menempelkan di tempat yang sama secara berdampingan. Di sinilah dituntut kedewasaan dari para calon anggota legislatif sebelum duduk di bangku dewan untuk berlaku jujur, sportiv, berani berbuat berani bertanggung jawab, mengutamakan kepentingan bersama ketimbang pribadi.
Semoga saja kita para konstituen di mana saja berada bisa memetik pelajaran dari gambaran demokrasi yang dijalankan para caleg. Semoga para caleg benar-benar mampu menyuarakan aspirasi rakyat. ***
0 komentar:
Post a Comment