Rakyat Menjerit, Dewan dan Caleg Kenapa Bungkam
SEJAK beberapa pekan silam sejumlah media massa lokal selalu mengangkat berbagai isu perkotaan yang merupakan bahagian kebijakan Wali Kota yang dianggap tidak popular dan tidak berpihak pada masyarakat banyak.
Di antaranya memperpanjang dan mempersulit birokrasi pembuatan dan perpanjangan Kartu Tanda Penduduk (KTP), dengan dalih tertib administrasi kependudukan. Merubah rute lalu lintas dengan dalih menertibkan lalu-lintas dan masih banyak yang lainnya.
Di bidang pembuatan KTP misalnya. Saat ini ribuan warga kota yang berasal dari 12 kecamatan di Pekanbaru menjerit sulitnya mendapatkan dan memperpanjang kartu tanda penduduk, sebagai akibat kebijakan Wali Kota Pekanbaru H Herman Abdullah MM yang dijalankan oleh Dinas Pendaftaran Kependudukan dan catatan sipil Distarduk yang saat ini dipegang oleh H M Noer MBS.
Saat ini jangankan untuk membuat KTP, memperpanjang KTP pun harus memiliki Akte kelahiran. Ini jelas mempersulit warga. Artinya, bagi para pemohon KTP baru yang berusia 16 atau 17 tahun mungkin bisa diberlakukan, namun bagi yang berusia di atas 40 tahun mungkin dianggap yang mengada-ada.
Ya, mungkin bagi para pegawai negeri (PNS) hal itu perlu, karena bisa jadi akan terkait dengan urusan kepegawaian, seperti untuk masa pensinn dan sebagainya, namun tidak bagi masyarakat awam, pedagang, supir, buruh kasar, tukan batu yang juga memiliki hak memperoleh KTP. Bagi mereka tidak ada perlunya memiliki akte kelahiran. Yang terpenting ada dokumen kependudukan, KTP, KK dan sebagainya, terlebih lagi mengurus akte kelahiran memakan waktu dan biaya besar. Sementara kegunaannya bagi mereka tidak terlalu penting.
Saat dipegang Dorman Johan, tertib administrasi kependudukan tetap jadi prioritas. Bahkan proses pelayanan public berjalan lancer. Karena kewenangan diserahkan ke masing-masing kecamatan, karena yang lebih mengetahui tentang warga adalah pihak kecamatan, kelurahan dan RW serta RT.
Dengan dalih tertib administarsi itulah semua proses pembuatan KTP, KK, akte kelahiran, diambil alih oleh Dinas Kependudukan. Jika hal itu mempermudah dan mempelancar proses pelayanan public syukur-syukur. Yang terjadi malah KTP, KK ataupun dokumen kependudukan warga kota Pekanbaru menumpuk dan tidak ditandatangani. Bahkan tidak sedikit yang dikembalikan ke kecamatan, sehingga proses pembuatan KTP dan KK yang menurut undang-undang harus selesai maksimal 14 hari sejak permohonan warga, bias mencapai berminggu-minggu. Ini jelas tidak sesuai lagi dengan yang dimanatkan UU no 23 tentang Adiminstrasi Kependudukan.
Kebijakan pengambilaihan ini ternyata juga membawa dampak terhadap hak-hak warga Negara untuk memilih identitas kependudukan sesuai UU RI No 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan. Akibatnya, selain memakan waktu yang cukup panjangn dan biaya besar, kebijakan ini juga tidak sesuai dengan motto Pemko Pekanbaru yang memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat dan tidak mempersulit urusan rakyat.
Padahal system yang dilaksanakan selama ini sudah cukup bagus, tanpa mengurangi persyaratan dan memperpanjang birokrasi pelayanan public, KTP dan KK cukup ditandatangani camat selaku Kepala Kecamatan. Berbeda dengan pola pembuatan KTP secara manual, pembuatan KTP dengan pola Sistem informasi administarsi kependudukan (SIAK) atau dikenal dengan KTP nasional tertutup kemungkinan pembuatan KTP ganda.
Hal ini sudah terbukti dengan kesulitan mengakses KTP online di masing-masing kecamatan. Karena akan terbaca semua data kependudukan di seluruh Indonesia yang memakai system serupa. Tidak seperti KTP manual yang memakai kartu warna kuning dan KK warna kuning yang hanya didata dan dicatat secara manual di buku.
Dari segi kecepatan pelayanan public akan terlihat bahwa proses di kecamatan akan lebih cepat dan mudah dibanding dengan pola terpusat di satu tempat. Karena akan terjadi penumpukan dokumen.
Logikanya, jika setiap hari ada sekitar 100 permohonan KTP dan KK, dan itu bisa diselesaikan dalam tempo satu hari oleh camat. Namun kalau dilakukan dan ditandatangani oleh M Noer selaku kepala Dinas Kependukan, satu hari M Noer harus menandatangani dan memeriksa berkas sebanyak 1.200 permohonan KTP KK. Belum lagi Akte kelahiran dan dokumen kependudukan lainnya sebagainya.
Ini jelas sangat mustahil dilakukan dalam satu hari, kecuali M Noer adalah seorang robot atau tidak memiliki keperluan lain, baik dalam hal keperluan rumah tangga, istirahat, rekreasi dan sebagainya.
Bila jumlah data rata-rata pemohon satu hari mencapai 100 atau 1.200 pemohon untuk 12 kecamatan, maka selama sebulan M Noer harus menandatangani 36.000 berkas. Itu pun kalau rangkap satu. Jika berkas itu rangkap banyak, jelas tidak akan terselesaikan, bisa-bisa jadi masalah baru dan berkas data kependudukan warga akan jadi tumpukan kertas yang tidak terselesaikan.
Artinya, sebelum membuat kebijakan seharusnya aparat terlebih dahulu melakukan studi kelayakan, untung ruginya, baik buruknya dan jangan hanya berorientasi pada pemasukan kas daerah dari pajak dan retribusi belaka. Jika ini yang terjadi, tidak ada artinya penghargaan yang diterima wali kota selama ini tentang system pelayanan publik yang baik. Dan penghargaan itu akan menjadi sebuah pembohongan publik.
Lantas apa solusinya?
Tinggal nawaitu dan rasa kepercayaan dengan menyerahkan sebagian kewenangan Pemko ke kecamatan. Artinya, meski dalam pembuatan KTP tetap memakai nama Kepala Dinas Kepenudukan dan Catatan Sipil, tapi roses tetap cukup di tingkat kecamatan. Ya, .. seperti yang dilakukan di Indragiri Hilir lah. Dalam KTP tetap ada tanda tangan Kepala dinas dan Stempel basah, tapi proses cukup di lakukan di kecamatan dan laporan mobilitas penduduk harus ada setiap hari.
Terakhir yang perlu jadi renungan bersama, Setiap kerja yang bisa dipercepat kenapa harus diperlambat, bisa diselesaikan secara mudah kenapa harus dipersulit. Namun tentunya tetap memperhatikan persyaratan-persyaratan yang lengkap.***
0 komentar:
Post a Comment