Perahu Negeri Jangan Retak, apalagi Pecah
MESKI masa pemilihan umum (Pemilu) 2009 baru dimulai pertengahan Maret yang ditandai dengan kampanye dan pemilihan calon anggota legislative pada April mendatang, namun suhu politik di tanah air sudah memanas. Bahkan sejak tahun 2008 lalu gaungnya pun sudah menggema se antero nusantara.
Sepak terjang para politikus dari berbagai partai dan luar partai pun bermunculan. Mulai dari saling klaim, saling sikut dan saling adu argument, poling-memoling pun mengemuka. Bahkan saling bajak membajak kader partai untuk pasangan calon presiden dan calon presiden pun terjadi.
Perang urat syaraf di antara para elit politik di Jakarta nampaknya tidak bisa dihindarkan. Mereka berebut perhatian dan simpati masyarakat. Hal ini tidak saja terjadi para elit politik yang berasal dari partai besar belaka, para politisi partai burem pun ambil bagian. Kondisi ini pun diperparah oleh adanya komentar-komentar yang berasal dari luar partai. Sebut saja pengamat politik, dari kampus, tokoh masyarakat dan sebagainya yang juga diekspos di berbagai media massa.
Sebut saja misalnya perang urat syaraf antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. SBY-Sutiyoso, Jusuf Kalla dengan SBY meski akhirnya mencair, Jusu Kalla dengan Akbar Tanjng yang nota bene antara Ketua partai dengan mantan Ketua Partai. Gusdur dan Mega, Gusdur dan Muhaimin Iskandar dan sejumlah tokoh politik lainnya.
Persoalan inti dari perang urat syaraf itu pada dasarnya bermuara pada merebut perhatian atau simpati rakyat atau massa. Kondisi tersebut bisa dilihat, selain terjadinya perang iklan yang bermuara mencari simpati rakyat, komunikasi antara mantan dan presiden menjabat pun tidak pernah ada. Bahkan sejak Mega turun tahta, tak pernah lagi menjejakkan kakinya di istana negara. Meski pun dalam beberapa iven nasional selalu diundang.
Kebuntuan politik semacam ini jelas memberi warna tersendiri dan menjadi peratian dunia bahwa ternyata demokrasi yang dijalankan di Indonesia belum sempurna, meski saat ini Indonesia digadang-gadangkan di luar negeri sebagai Negara demokratis dengan berbagai etnis, suku dan agama berbeda tapi tetap harmonis.
Perang urat syaraf lainnya, juga terlihat dalam perebutan tahta kekuasaan dan pengaruh di berbagai tubuh partai. Sebut saja misalnya antara kubu Muhaimin Iskandar dan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Demikian juga halnya perang urat syaraf yang terjadi dalam tubuh Partai Golkar sendiri dalam penentuan calon presiden dan calon wakil presiden. Antara Jusuf kalla di sati pihak dengan para kader di pihak lain, termasuk sespuh, Pembina dan pengurus Golkar daerah. Sehingga ada kesan terjadinya pembangkangan dari sejumlah kader yang ingin maju jadi calon presiden meski aturan partai belum menentukan.
Bahkan yang lebih hebatnya juga terjadinya saling bajak-membajak kader partai untuk dipasangkan jadi capres dan cawapres. Sebut saja misalnya Partai A yang telah mendeklarasikan calon Presiden mencari calon presidennya dari Partai B—yang sebenarnya tokoh partai B tersebut sebenarnya juga mendeklarasikan diri jadi calon Presiden.
Bahkan yang juga perlu diwaspadai baik oleh masyarakat maupun tokoh partai adalah upaya-upaya adu domba yang menimbulkan perpecahan. Baik antara sesama kader dari satu partai maupun antara kader partai A dan kader partai B atau yang lainnya. Kondisi-kondisi seperti ini jelas akan sulit untuk dihindari terutama dengan makin memanasnya suhu politik di tanah air, mulai dari Pemilu legislative hingga pemilihan presiden dan wakil presiden ke depan.
Penomena semacam ini perlu jadi perhatian bersama agar tidak berlanjut ke depan. Antisipasi pun harus disiapkan sejak dini agar perahu negeri ini tidak retak apalagi pecah dan membuat rakyat bingung.
Padahal bagi rakyat politik itu jelas bukan mananan sehari-harinya. Siapapun yang jadi pemimpin, siapa pun yang jadi wakil rakyat, terserah dari suku mana, agama apa partai apa, yang terpenting bagi rakyat negeri ini aman, sehingga mereka pun bisa berusaha memenuhi keperluan sehari-hari.***
0 komentar:
Post a Comment