Laporan :
YASRIL, Pekanbaru
yasrilriau@gmail.comKonsep sejahtera itu papar lelaki kelahiran Jakarta 18 maret 1959 ini bermula dari keluarga. Jika semua keluarga di Riau sejahtera, hak-hak dasarnya terpenuhi, otomatis masyarakat umum juga akan sejahtera. Namun, untuk mencapai sejahtera ini memang tak mudah, karena harus dengan perencanaan yang matang. Mulai dari perencanaan nikah hingga terbentuk keluarga dan pemenuhan ekonomi keluarga. Dan pada gilirannya mengarah pada keluarga yang berkualitas.
Makanya, papar bapak dua anak ini, keluarga berkualitas ,berasal dari keluarga berencana dengan jumlah anggota keluarga yang ideal, terpenuhi hak-hak dasar anak, seperti hak hidup, sandang pangan, dapat pendidikan berkualitas, akses kesehatan yang baik dan pada gilirannya dapat pekerjaan yang layak. Sebaliknya, banyak pun jumlah anak atau anggota keluarga, tanpa diimbangi pemenuhan hak-hak anak, hasilnya pun tak maksimal. Bahkan bukan tak mungkin akan jadi beban masyarakat atau pemerintah di masa datang. Ini tidak saja terjadi di kota-kota besar saat ini, tapi juga bisa di Riau nantinya.
Sebagai gambaran, pertumbuhan penduduk Riau yang kini sebesar 4,35 persen per tahun, katanya masih tergolong tinggi dibanding rata-rata nasional yang hanya 1,4 persen per tahun. Namun, Ary juga mengakui sebagian besar karena faktor migrasi masuk akibat tumbuhnya perekonomian Riau dan peluang lapangan kerja yang besar, bukan karena faktor kelahiran. Ini dibuktikan bahwa TFR Riau turun dari 3,2 (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia/SDKI 2002/03) jadi 2,7 pada SDKI 2007 (nasional 2,6), walau proporsi peserta KB aktif terhadap pasangan usia subur (PUS) juga turun dari 57,8 persen jadi 56,7 persen (SDKI 2007).
Padahal, paparnya, teori Bongart mengatakan, ,bila CPR naik maka TFR ,turun. Sedangkan kejadian di Riau, CPR turun tapi TFR juga turun. Kejadian ini karena pertambahan peserta KB aktif lebih kecil dari pertambahan PUS, dan atau karena peserta KB aktif mayoritas peserta KB dengan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang/MKJP (IUD, MOP, MOW, implant) yang sangat kecil sekali drop out (kegagalannya) sehingga punya dampak signifikan terhadap penurunan TFR (tak seperti pil/suntik yang tinggi tingkat kegagalannya karena lupa minum pil tiap hari/terlalu jauh dapat pil yang perlu biaya transpor/pil tak ada di tempat pelayanan, atau lupa harus suntik KB tiap tiga bulanan/tak punya biaya transpor/membayar jasa bidan untuk suntik KB).
Perkembangan program KB di Riau kini dinilai sangat baik. Angka kemandirian masyarakat untuk ber-KB cukup tinggi (57 persen) dan hampir 40 persen alat kontrasepsinya masih ditanggung pemerintah, melalui program pelayanan cuma-cuma untuk alat kontrasepsi di fasilitas pelayanan pemerintah. Di samping itu, peran bidan dalam pelayanan program KB cukup tinggi, pengetahuan masyarakat terhadap KB juga cukup baik.
Hanya, pengelolaan program KB kini tak lagi seperti masa sebelum 2003. Tapi dengan telah terbentuknya lembaga KB di kabupaten/kota awal tahun ini, merupakan angin segar bagi program KB untuk bisa melayani lagi di tengah-tengah masyarakat setelah keberadaannya ditinggalkan PLKB selama lima tahun lalu. Melalui Visi BKKBN yang baru diupayakan agar keluarga kecil bahagia dan sejahtera dapat terwujud, yaitu seluruh keluarga ikut KB.
Ini tentunya bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti calon/pasangan suami isteri sejak dini harus merencanakan keluarganya (melalui penundaan usia perkawinan untuk persiapan pernikahan (mental dan ekonomi) dengan bekerja/menabung dahulu sebelum menikah. Jika sudah menikah maka agar menunda kelahiran anak pertama dengan mempersiapkan segala sesuatunya untuk kelahiran anak pertama, jika sudah punya anak pertama maka diupayakan agar menjarangkan kelahiran anak kedua minimal lima tahun agar ibu siap secara medis untuk melahirkan anak kedua dan keluarga siap dalam ekonomi, dan setelah itu membina tumbuh kembang kedua anaknya (memberikan gizi yang baik, kesehatan prima, pendidikan setinggi mungkin).
Balita ikut Bina Keluarga Balita (BKB) dan Posyandu. Remaja ikut kegiatan Bina Keluarga Remaja (BKR) dan PIK KRR agar terhindar dari pergaulan bebas, pencegahan PMS dan HIV/AIDS, serta terhindar dari NAPZA. Lansia ikut Bina Keluarga Lansia (BKL). Keluarga ikut Bina Lingkungan Keluarga (BLK) untuk kebersihan dan kesehatan lingkungan keluarga. Isteri ikut UPPKS dalam rangka meningkatkan pendapatan keluarga. Suami diupayakan jadi motivator KB atau jadi peserta KB pria atau jadi ketua/anggota kelompok KB pria.
Sekarang ini saja, rasio jenis kelamin penduduk Riau sebesar 105, tapi khusus untuk kelompok 19-24 tahun terlihat rasio jenis kelamin di bawah 100, artinya lebih banyak penduduk perempuan daripada penduduk laki-laki pada kelompok umur tersebut. Menurut BPS (Riau dalam Angka 2008), penduduk umur 0-10 sebesar 22 persen, sedangkan kelompok remaja yang jadi garapan PIK KRR (10-24) 27,6 persen dan umur 25-29 sebesar 10,6 persen, 30-34 sebesar 10,5 persen, sedangkan manula (di atas 60) sebesar tiga persen.
Proporsi penduduk yang tinggal diperkotaan (36,6 persen) meningkat akibat urbanisasi dan migrasi dibanding perdesaan. Sedangkan persentase penduduk miskin Riau, berdasarkan Susenas 2007 - BPS, menunjukkan penurunan, yaitu dari 12,51 persen (2005), 11,85 persen (2006) dan 11,20 persen (2007). Kantong-kantong kemiskinan cukup nyata dapat dilihat di perkotaan, seperti penduduk yang tinggal di pemukiman padat dan kumuh, daerah terpencil, daerah kepulauan. Berdasarkan Susenas 2007, per kabupaten/kota, terlihat kantong kemiskinan berada di wilayah Rohul, Kuansing, Pelalawan, Inhu, dan Inhil.
Kecenderungan masyarakat miskin mendapat hak-hak dasarnya?
Ke depan, persaingan untuk mendapatkan kehidupan yang layak akan makin berat. Makanya perlu ada program pengentasan kemiskinan di Riau yang lebih fokus yang dimulai dengan kegiatan pendataan penduduk miskin (bisa dengan pendataan keluarga yang dilakukan BKKBN tiap tahun) dengan segala faktor yang menyebabkannya, pelayanan KB gratis bagi keluarga miskin/pra-sejahtera dan sejahtera I (karena keterbatasan keuangan negara maka selama ini BKKBN hanya menyediakan alat kontrasepsi gratis bagi keluarga miskin, sedangkan jasa pelayanan KB dari petugas kesehatan belum seluruhnya digratiskan), pembukaan kesempatan kerja bagi rakyat miskin, pendidikan gratis, kesehatan gratis, bantuan modal (seperti UPPKS dari BKKBN), sehingga jumlah rakyat miskin di Riau akan berkurang.
Apa solusi meningkatkan kesejahteraan masyarakat?
Solusi yang paling ampuh adalah mengajak masyarakat ikut KB, memperlambat usia perkawinan pertama, menjarangkan kelahiran, memperkecil jumlah anggota keluarga, menggunakan kesempatan luang untuk meningkatkan pendidikan dan kegiatan produktif lainnya, terutama bagi kaum perempuan (seperti UPPKS).
Tapi, selama ini BKKBN selalu diidentikkan dengan alat, menurut Anda?
Program KB tak hanya identik dengan alat kontrasepsi ataupun pengendalian jumlah penduduk semata. Jauh dari itu, pelaksanaan program KB lebih banyak melakukan proses untuk mendidik dan merubah sikap, perilaku dan nilai-nilai dalam masyarakat untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera dan berkualitas Di samping itu, program KB juga peduli dengan masalah reproduksi remaja agar terhindar dari pengaruh negatif oleh narkoba, miras, judi, HIV/AIDS misalnya. Terhadap kaum lansia misalnya, program KB juga peduli untuk tetap memberi semangat terhadap kaum lansia dengan mendidik keluarga lansia bagaimana cara memperlakukan kaum lansia dengan baik dan benar.
Program KB juga membantu menurunkan angka kematian ibu melahirkan (dengan ikut KB agar tak sering melahirkan anak yang akan mengakibatkan kematian, dan menjarangkan kelahiran anak pertama dengan anak kedua selama lima tahun agar jarak kelahiran tidak terlalu dekat yang akan mengakibatkan kematian) dan juga membantu menurunkan kematian anak karena ibu belum siap melahirkan karena umur ibu terlalu muda/melahirkan terlalu sering/jarak kelahiran terlalu dekat.
Bagaimana isu baby boom di Riau?
Baby boom pasti akan terjadi di Riau mengingat besarnya kelompok penduduk usia muda di Riau saat ini, yang beberapa tahun akan datang siap untuk melangsungkan pernikahannya. Dengan LPP 4,35 persen (yang setiap tahun pasti akan naik terus, mengingat arus masuk penduduk ke Riau yang sangat tinggi karena pembangunan di Riau yang sangat gencar) maka setiap tahun akan bertambah penduduk lebih dari 220.000 jiwa (jika LPP konstan 4,35 persen), dan menurut Proyeksi BPS maka pada tahun 2010 akan menjadi hampir 7,5 juta, serta tahun 2025 penduduk Riau menjadi lebih dari 12,5 juta (Penduduk Indonesia lebih dari 270 juta pada 2025), dan migrasi masuk hampir mendekati 20 persen.
Pertumbuhan PUS ke depan masih tinggi, apabila PUS tersebut tidak diajak ber-KB dan menggunakan alat kontrasepsi maka jumlah kelahiran pasti akan meningkat. Oleh karena itu, program KB adalah program yang berproses tiada henti. Sebagai ilustrasi, saat ini penduduk yang lahir sekitar tahun 1980 atau generasi 1980 yang pada tahun 2000 berusia 20 tahun, pasti tidak tersentuh dengan informasi KB akibat redupnya pelaksanaan program KB selama sepuluh tahun terakhir. Dengan demikian, bagaimanapun, program KB harus tetap dijalankan mengimbangi tingat pertumbuhan PUS yang cukup tinggi di Riau di masa yang akan datang.
Di samping itu pengetahuan kesehatan reproduksi sangat penting untuk diketahui para remaja yang nantinya akan menjadi calon pengantin (dengan program Kesehatan Reproduksi Remaja/KRR melalui PIK-KRR). Program ini dapat dilakukan melalui berbagai sarana seperti sekolah dan luar sekolah (pramuka, remaja masjid, pesantren, dan lainnya).
Dukungan pemerintah daerah terhadap program KB di Riau bagaimana?
Diakui bahwa memang pada masa lalu (era 1997-2006) dukungan pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota terhadap program KB sangat minim. Hal ini karena melemahnya komitmen dan kepedulian pimpinan wilayah terhadap program KB.
Mungkin ini akibat ketidaktahuan dan kurangnya pemahaman pimpinan wilayah terhadap manfaat program KB terutama bagi kesehatan ibu dan anak, bahwa pertumbuhan penduduk akan menggerogoti hasil pembangunan, bahwa pertumbuhan penduduk akan memperbesar pengeluaran pemerintah dalam kesehatan/pendidikan/lapangan pekerjaan.
Penyebab lainnya, bisa jadi program KB bukan skala prioritas saat ini sehingga mengabaikan pelaksanaan program KB. Atau mungkin karena program KB merupakan investasi jangka panjang, sehingga tidak dirasakan seketika. Tapi patut diingat bahwa program KB adalah biaya yang paling murah untuk program peningkatan kesejahteraan rakyat dan juga pengentasan kemiskinan.
Andai seluruh rakyat miskin tidak ikut KB dan melahirkan banyak anak, maka jelas jumlah penduduk miskin akan bertambah terus menerus. Tetapi mulai tahun 2007 di bawah kepemimpinan Kepala BKKBN (dr Sugiri Syarif MPA), BKKBN mulai menggeliat kembali dengan berbagai program terobosan melalui advokasi kepada Bappenas dan Depkeu untuk menambah anggaran BKKBN di seluruh Indonesia, revitalisasi program KB melalui momentum strategis dan bhakti sosial (PKK KB Kesh, Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat/BBGRM bersama Depdagri dan PKK, TNI Manunggal KB Kesh/TMKK, IBI KB Kesh, KB Kesh Bhayangkara, TNI Manunggal Masuk Desa/TMMD, KB Kesh Surya Bhaskara Jaya dengan TNI AL untuk daerah kepulauan/terpencil/perbatasan yang menjangkau masyarakat miskin, Pelangi Nusanttara KB Kesh dengan TNI AU, Bulan Bhakti LSOM dalam Program KB (dengan IDI, Aisyiyah-Muhammadiyah, Muslimat NU, PGRI, KORPRI, Bulan Bhakti BRIMOB, HOGSI, APPI, PKBI, dan lainnya).
Disamping itu dukungan Kab/Kota sejak 2007 juga membaik melalui PP 38 (program KB menjadi urusan wajib kabupaten/kota) dan PP 41 (tentang pembentukan SKPD-KB di kabupaten/kota melalui badan KB dan pemberdayaan perempuan), mulai adanya penerimaan PLKB baru di kabupaten/kota (walau terbatas jumlahnya), sampai dengan re-branding logo institusi dan logo program BKKBN yang baru dengan maksud meningkatkan citra BKKBN.
Apa yang perlu disiapkan untuk memotivasi warga untuk ber-KB?
Untuk memotivasi masyarakat Riau ber-KB dilakukan melalui KIE dan penyuluhan, menyediakan alat kontrasepsi gratis bagi masyarakat miskin (tapi khusus untuk IUD dan kondom digratiskan bagi masyarakat miskin dan non miskin), dukungan dana bagi pelayanan KB untuk provider, pelatihan bagi tenaga pelayanan yang siap dan berkualitas, dukungan alat kesehatan dan non alat kesehatan KB (IUD Kit, VTP Kit, KIE Kit, BKB Kit, APE Kit, mobil pelayanan KB, mobil penerangan KB, dan lainnya), meningkatkan kegiatan sosialisasi program KB sehingga pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang program KB meningkat, dan pada saatnya masyarakat berperan serta berpartisipasi dalam ber-KB. Keberhasilan program tersebut perlu didukung dengan anggaran yang cukup, tenaga pengelola program yang terlatih dan profesional, dan komitmen yang kuat oleh pemerintah mulai dari presiden sampai ke kepala desa/lurah.
Berapa angka tingkat kelahiran di daerah ini, tingkat kematian ibu hamil, keluarga yang tidak lagi ingin punya anak?
Menurut SDKI 2007, TFR Riau saat ini 2,7 anak per wanita (SDKI 2007) dan jumlah PUS unmet need 9,1 (SDKI 2007), sedangkan menurut pendataan keluarga 2007 maka keluarga yang tidak ingin punya anak lagi sebesar 33,27 persen dari jumlah keluarga yang ada, hal ini karena melemahnya pelaksanaan program KB selama lima tahun terakhir, sehingga permintaan PUS unmet need banyak yang tidak terpenuhi, baik dari segi penyediaan dan akses kontrasepsi dan dari perolehan informasi tentang KB.
Apa penyebabnya?
Dengan TFR turun (dari 3,2 menjadi 2,7) berarti partisipasi masyarakat terhadap program KB semakin kuat dan semakin sadar untuk tidak mau melahirkan anak lebih dari dua. Walaupun pengguna kontrasepsi turun menjadi 56,7 persen (dari hampir 60 persen) tetapi ternyata pengguna metode kontrasepsi jangka panjang cukup besar, sehingga dapat menurunkan TFR. Rendahnya angka kematian ibu hamil adalah karena gencarnya aktivitas program kesehatan seperti program desa siaga. Besarnya PUS unmet need karena permintaan mereka tidak tersentuh oleh tenaga pengelola program di tingkat desa/kelurahan yang selama ini mati-matian melayani permintaan masyarakat terhadap KB siang dan malam.
Solusinya?
TFR tetap akan diupayakan turun hingga mencapai 2,1 beberapa dekade mendatang yaitu dengan tetap menggencarkan peningkatan kesertaan ber-KB masyarakat terutama terhadap metode kontrasepsi jangka panjang (IUD, MOP, MOW dan implant) pada PUS yang berusia masih muda dengan jumlah anak dua atau tiga. Angka kematian ibu hamil juga terus ditekan, antara lain dengan penyediaan sarana kesehatan dan tenaga kesehatan hingga sampai ke pelosok-pelosok di Riau yang dapat mengantisipasi kasus kematian ibu hamil. Terhadap PUS unmet need akan dilakukan penggarapan khusus melalui momentum strategis (PKK KB Kesh, IBI KB Kesh, TMKK, KB Kesh Bhayangkara, KB Kesh Bhaskara Jaya, dan lainnya) dan dukungan dana khusus bagi peserta dan pelayan/provider IUD/MOP/MOW, serta melibatkan tokoh masyarakat/agama dan instansi/institusi terkait.