Masukan Terhadap Upaya Mengurangi Kemiskinan di Riau
MENGHAPUS keluarga miskin di negeri ini jelas tidak akan mungkin dan bisa jadi dianggap melanggar kodrat alam ciptaan Allah yang serba dua. Namun mengurangi jumlah keluarga miskin dan meningkatkan kualitas keluarga dari miskin menjadi sejahtera, itu cukup memungkinkan. Sebab, si-kaya ada karena adanya si-miskin.
Meski belum membaca visi misi Genta Melayu, saya tertarik dengan gerakan kemanusiaan dan keekonomian yang dilakukan CEO Riau Pos Grup, pak Rida K Liamsi--seorang pengusaha berhasil di negeri ini --dengan gebrakannya ‘’Gerakan Sejuta (Genta) Melayu yang terilham dengan gerakan seribu (Gebu) Minang yang dirpakarsai Azwar Annas Gubernur Sumbar ketika itu, yang juga mantan Menkokesra di era Orde Baru. (Bagi pembaca posting ini, nanti kalau ada tulisan pak Rida tentang Genta Melayu, saya janji akan mempostingnya dalam blok ini).
Gerakan yang sama sebenarnya juga pernah dilakukan Prof Haryono Suyono—Kepala BKKBN yang juga mantan Menkokesra dengan upaya membangun sendi-sendi perekonomian mikro atau masyrakat lapis bawah. Di antaranya berupa gerakan menabung—yang kalau sekarang lebih dikenal dengan istilah investasi, yakni tabungan keluarga sejahtera (Takesra), Kredit Usaha Keluarga Sejahtera (Kukesra), pendirian unit-unit usaha peningkatan pendapatan keluarga sejahtera (UPPKS ). Bahkan terakhir Haryono Suyono dengan yayasan Damandiri juga melakukan gerakan Posdaya dan sebagainya.
Sejumlah program itu hingga kini pun berjalan baik, meski di sejumlah daerah ada yang sudah tidak aktif, sebagai akibat tidak adanya motivator dari tenaga penyuluh KB. Ini juga menjadi masalah, karena di banyak kabupaten/kota hampir semua tenaga penyuluh lapangan KB sudah beralih fungsi menjadi tenaga teknis. Padahal mereka dipersiapkan sebagai tenaga fungsional yang berhubungan langsung ke tengah masyarakat.
Kondisi serupa juga terjadi pada departemen/non departemen yang juga pernah menyediakan staf atau tenaga fungsional, seperti Deppen, Depsos, Pertanian, Kehutanan dan sebagainya. Padahal para tenaga fungsional ini dipersiapkan secara matang dengan tujuan sebagai ujung tombak pemerintah di masyarakat. Mereka diharapkan mampu menyampaikan tujuan-tujuan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya ke tengah-tengah masrayakat. Yang pada sasaran akhirnya menciptakan manusia Indonesia dan keluarga-keluarga berkualitas.
Sejak itu pulalah, terutama setelah desentralisasi pemerintahan, yang ditindaklanjuti dengan penyerahan sebagian asset pusat ke daerah, program perbaikan perekonomian keluarga atau mikro ekonomi itu tidak lagi berjalan, terutama terhadap para petani, nelayan buruh kasar, buruh harian lepas, para supir, pemulung dan lainnya yang bermukim di daerah-daerah pedesaan, dusun-dusun, pesisir pantai, daerah-daerah kumuh di perkotaan . Termasuk mereka yang bermukim di Riau, seperti puak-puak Melayu yang ada di pesisir-pesisir panta, daerah-daerah terisolir. Mereka hidup dengan kondisi serba pas-pasan.
Dapat pagi habis siang, dapat siang habis malam. Begitulah kondisi yang mereka alami setiap waktu. Sehingganya jangankan untuk melakukan investasi melalui gerakan menabung, untuk keperluan hidup sehari-hari pun susah. Belum lagi untuk biaya perawatan kesehatan, untuk biaya mendapatkan pendididikan yang lebih baik.
Persoalan yang mereka—(para keluarga miskin;baca)-- hadapi akan lebih rumit lagi, ketika ‘’kue’’ yang seharusnya ukup untuk tiga atau empat orang harus dibagi menjadi lima atau enam, bahkan tujuh orang atau lebih. Ini sebagai akibat banyaknya jumlah anggota keluarga yang ada dalam sebuah rumah tangga.
Setelah dirunut-runut, oleh pihak BKKBN, jumlah anggota keluarga yang besar dalam sebuah keluarga, terutama keluarga miskin menjadi persolan yang sangat mendasar dan harus diatasi sebelum memperbaiki perekonomian rmah tangga. Bahkan tidak salah, banyak orang atau pun pejabat mengatakan keluarga miskin dengan kemiskinannya akan melahirkan anggota keluarga atau orang-orang miskin juga. Untuk itu pengaturan jarak kelahiran di masyarakat miskin harus dilakukan agar tidak terlahir orang-orang miskin baru lainnya.
Makanya program ini perlu dilakukan secara bersamaan, sehingga di satu sisi sebuah keluarga diharapkan bisa melakukan perencanaan, baik untuk menata perekonian maupun pengaturan jarak kelahiran anak. Dan pada akhirnya bisa meningkatkan kualitas sebuah keluarga yang diukur berdasarkan skala-skala tertentu.
Pertanyaan, apakah hanya modal yang besar yang mampu mengatasi perekonomian masyarakat miskin yang mayoritas dinomina puak Melayu itu?
Tentulah tidak demikian. Modal besar sangat diperlukan, namun tidak akan ada artinya, kalau persoalan mendasar tidak teridentifikas dengan baik, Demikian juga sebaliknya, program pengentasan keluarga miskin bagus-bagus, tapi tanpa didukung modal yang cukup akan berjalan tersendat. Keduanya harus jalan seiring dan terencana secara matang.
Yang pasti dana sangat diperlukan sebagai modal untuk merubah pola hidup dan prilaku sebagian sebagian kaum ibu dari keluarga miskin yang masih berkutat di tiga ‘’ur’’ (dapur, sumur, kasur) kearah wiraswasta. Sehingga secara bertahap diharapkan akan mampu merubah sastus keluarga mereka dari pra sejahtera menjadi sejahtera 1, ke sejahtera 2, sejahtera 3 dan sejahtera 3 plus.
Nah, kalaulah itu yang nantinya diikuti, maka tidak ada salahnya tim Genta Melayu juga bisa mempelajari kiat-kiat yang diterapkan BKKBN dalam mengentaskan kemiskinan selama ini. Atau mungkin secara bergandengan melakukan gebrakan di tengah masyarakat. Karena selain BKKBN memiliki sisa-sisa tenaga yang menguasai lapangan, lembaga non departemen ini juga memiliki modal besar di bidang kemanusiaan yang dananya selian bersumber dari APBN juga bantuan-bantuan luar negeri baik dari bank dunia atau pun lembaga-lembaga swadaya (SLM) yang bergerak di bidang kemanusiaan dan tidak bersifat mengikat.
Mereka bergerak juga menggunakan uang sebagai dana paningan untuk merubah prilaku penduduk. Sebab, pendidikan merubah prilaku dan kebiasaan hidup itu tidak akan bisa seperti membalikan telapak tangan, tapi perlu waktu dan itu merupakan investasi masa panjang.
Sebut saja misalnya gerakan menabung dengan sasaran merubah prilaku penduduk dari kebiasaan bersifat konsuntif kea rah menabung. Untuk itu BKKBN pun meluncurkan sejumlah dana pancingan kepada masyarakat melaui rekening-rekening tabungan langsung atas nama anggota atau kepala keluarga miskin yang lebih dikenal dengan sebutan keluarga pra sejahtera.
Selama program ini berjalan di era Orde baru hasilnya cukup menggembirakan. Banyak masyarakat Indonesia yang menambung bahkan jumlah dananya pun meningkat dari tahun ke tahun. Untuk lebih memotifasi warga lainnya dibuat pula sejumlah tugu menabung, termasuk di Riau sendiri.
Dalam bidang kewirausahaan juga. BKKBN meluncurkan gerakan unit-unit Usaha Peningkatan pendapatan keluarga (UPPKS). Dalam kegiatan ini juga diluncurkan dana hibah dan dana bergulir sebagai pancingan penambah modal dalam berusaha. Sasarannya juga para penduduk miskin dengan berbagai usaha, seperti penjual goring, kripik cabe, tukang temple benen, pedagang asongan dan sebagainya. Mereka ini terdata lengkap dan selalu mendapat pengarahan atau pun bimbingan dari para tenaga penyuluh.
Demikian juga bagi mereka yang usahanya sudah berkembang baik diluncurka pula program kredit usaha keluarga sejahtera (Kukesra). Sasarnya juga para penduduk miskin yang telah memulai usaha perbaikan perekonomian keluarga, namun masih mengalami kekurangan dana sebagai modal.***
yasrilriau@gmail.com
0 komentar:
Post a Comment