SEJAK era reformsi yang bergulir 10 tahun silam, telah banyak perubahan di negeri ini, baik di bidang ekonomi, social budaya, hankam termasuk kebebasan berpendapat. Perubahan itu tidak saja dalam bentuk yang baik-baik, tapi tidak sedikit yang mengarah pada pola-pola tradisionalisme.
Di antaranya perubahan yang cukup menonjol adalah kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum. Ini terlihat nyata dengan masih maraknya aksi-aksi unjuk rasa di tanah air. Dalam penyampaian aspirasi, baik yang mengatasnamakan rakyat, masyarakat atau golongan tertentu, para karyawan yang ter-PHK karena merasa hak-haknya untuk mendapakan pekerjaan yang layak terganggu, selalu ada yang memotori. Entah itu para aktivis, politisi dan sebagainya.
Di satu sisi, kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum yang dilindungi UU itu sangat baik, namun dalam realitanya , tidak sedikit yang masih melakukan secara tradisional, yakni dengan pengerahan massa, turun ke jalan secara besar-besaran, melakukan pengrusakan dan sebagainya. Padahal semua itu masih bias diatasi, seandainya para aktivis, politisi bia mengajarkan cara berdemokrasi yang baik kepada rakyat. Seperti penyampaian aspirasi secara perwakilan, berdialog dan sebagainya, tidak melakukan pengruakan, apalagi sampai menghilangkan hak hidup oang lain, seperti dialami Ketua DPRD Sumatera Utara (Sumut) Drs H Abdul Aziz Angkat MSP yang meninggal dunia secara tragis dalam sebuah aksi unjuk rasa anarkis yang digelar para pendukung pembentukan Provinsi Tapanuli (Protap) di Gedung DPRD Sumut di Medan, Selasa (3/2).
Itu baru satu contoh kecil dari system demokrasi di tanah air yang masih membungkus pola-pola bar-barisme, anarkisme dan kekerasan lainnya dalam bentuk demokrasi yang dipertontonkan di muka publik. Masih banyak contoh lain, baik dalam skala nasional maupun daerah. Bahkan bukan tidak mungkin hal ini pun akan terulang di kemudian hari, termasuk di Riau sendiri yang saat ini juga masih ada tokoh-tokoh daerah yang menuntut pemekaran wilayah.
Padahal, seharusnya pola-pola kekerasan, anarkisme dan bar-barisme yang lebih mengedepankan pengerahan massa secara besar-besaran itu sudah harus ditinggalkan, kalau kita tidak ingin ada lagi darah demokrasi yang tertumpah di bumi pertiwi ini. Rakyat harus diajarkan cara-cara berdemokrasi yang baik dan benar, dan tidak lagi diajak sebagai pion-pion atau umpan peluru oleh oknum-oknum yang ingin mendapatkan keuntungan di balik pengerahan massa itu.
Untuk mencapai ke arah itu, tentulah tidak mudah. Semua elemen masyarakat harus bersatu padu, mulai dari tingkat terendah, seperti dalam rumah tangga, sekolah, kampus dan lingkungan bermasyarakat. Demokrasi di tingkat masyarakat bias dimulai dengan pemilihan Ketua RT, RW. Di sekolah dimulai dengan pemilihan ketua kelas, OSIS. Demikian juga halnya dengan pemilihan kepala daerah, pemekaran wilayah dan sebagainya.
Selain dituntut kemampuan para aktivis, tokoh masyarakat pendidik dan sebagainya dalam memberikan pendidikan demokrasi yang baik, masyarakat pun seharusnya tidak mudah dibujuk rayu dan dikerahkan hanya dengan imbalan ala kadarnya. Sebab, belum tentu hasil dari pengerahan massa yang mengataskan demokrasi itu juga dinikmati para pengunjuk rasa secara umum.
Fakta menujukkan bahwa biasanya apa bila tujuan yang diinginkan seseorang tercapai, ia akan lupa pada orang lain yang juga membantu mencapai tujuan tersebut. Dalam ilmu politik disebutkan, tidak ada kawan yang sejati dan musuh yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Ini perlu dicamkan rakyat agar tidak terjebak dalam aksi-aksi bar-barisme, anarkisme yang berbalut demokrasi.***
0 komentar:
Post a Comment