Kemarin siang, tepatnya sekitar pukul 14.30 dua orang wanita bertandang kerumah saya. Semula, saya memikir kedua orang itu adalah sales yang biasanya menjajakan barang dagangan, entah peralatan rumah tangga, entah elektronika dan sebagainya. Kehadiran mereka pun saya tolak, seperti beberapa menit sebelumnya.
Namun mereka tetap saja bersikukuh ingin masuk dengan dalih ingin silaturrahim. Kontan saja rasa curiga pun muncul, jangan-jangan wanita-wanita itu ada maunya. Maklum ada-ada saja, bisa jadi ingin menggambar lokasi dan sebagainya. Tapi setelah mereka mengatakan bahwa sebenarnya mereka berasal dari partai politik yang sengaja diutus parpol, baru rasa curiga saya sedikit berkurang, meski belum seluruhnya.
Mereka pun memperkenalkan diri. Selain kader dan simpatisan salah satu partai politik yang getol melakukan kampanye secara door to door, mereka pun mengaku sebagai mahasiswi salah satu perguruan tinggi negeri di Pekanbaru.
Mendengar keterangan itu, naluri ingin tahu saya pun muncul dan bertanya banyak tentang perkuliahannya, mulai jurusan, fakultas, dekannya dan sebagainya. Maklum dalam profesi sebagai seorang jurnalis saya pun sering berhubungan dengan kalangan kampus dan juga kenal sedikit banyak dengan para dosen dan dekan.
Dalam sesi berikunya, mereka pun mulai bicara soal politik tanpa menanyakan profesi yang saya jalani sehari-hari. Pertanyaan-pertanyaan pun mengalir mulai dari nama partai yang ia bawakan, hingga misi. Semua pertanyaaan itu saya jawab apa adanya, ya,.. sekali-sekali pun memuji partainya, sehingga mereka pun seakan merasa tersanjung dan lebih banyak lagi mengajukan pertanyaan, hingga mengajak untuk bergabung dengan partai tersebut.
Semua ajakan itu pun akhirnya saja jawab dengan senyum dan angguk-angguk.
Dalam hati saya berpikir, ini anak, benar-benar dipersiapkan untuk bersilaturrahim dan berdialog secara langsung dengan warga dan mencari konstituen baru. Ya ibaratnya hampir samalah dengan seorang sales.
Namun akhirnya saya pun merasa geli dengan pertanyaan yang berbunyi, ‘’Bapak sudah berapa kali mencoblos? Ketika pemilu gubernur lalu bapak mencoblos partai apa? 9 April nanti baapak mencoblos apa? (tanpa menyebutkan kata-kata partai) dan beberapa partai lainnya.
Mendengar pertanyaan demi pertanyaan yang rasanya agak lucu didengar itu, saaya pun mulai menjelaskan, satu persatu dari pertanyaan awalnya yang berbunyi ‘’bapak kenal dengan partai kami?’’ Saya pun menjelaskan bahwa soal coblos mencoblos pada dasarnya rahasia. Bahwa Pemilu itu adalah bersifat bebas umum dan rahasia.
Soal sudah berapa kali mencoblos ya saya katakan, ‘’tak mungkinlah itu saya jawab. Malu ah,...’’ yang disambut mereka dengan ketawa.
Namun yang pasti sejak sejak tahun 1980-an saya selalu ikut pemilihan umum (Pemilu) yang diselenggarakan pemerintah. Ketika itu memeng masih mencoblos lambang partai hingga Pemilu 2004 lalu.
Demikian juga halnya dengan pemilihan Gubernur Riau dan Wagub yang lebih dikenal dengan istilah pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung. Bukan memilih partai, tapi memilik sosok atau person orangnya.
Kalau adik-adik nak tahu apa yang saya coblos pada 9 April nanti, ya itu juga rahasia. Namun yang pasti tidaklah mencoblos tanda partai meskipun itu sah, tapi lebih baik mencontreng nama calon legislatif yang dinilai memiliki kemampuan dan kualitas sebagai wakil rakyat dan anggota legislatif. ‘’Jangan sampai memilih kucing dalam karung, yang tidak tahu belang dan kualitasnya. Nyesal lho kalau salah pilih. Bisa-bisa menyesal 5 tahun,’’
Saya pun mencoba menjelaskan sedikit banyak tentang perpolitikan di tanah air. Mungkin merasa pengetahuannya berada jauh di bawah yang saya teranbgkan, barulah salah seorang diantara mereka menanyakan pekerjaan saja. Saya pun hanya tersenyum. Namun istri yang sejak tadi hanya tersimpul-simpul mendengarkan aksi kader partai itu pun mulai angkat bicara.
‘’Bapak ini wartawan.’’ Kata istri saya yang disambut dengan perubahan rawut muka kedua wanita tadi. Sayup-sayup terdengar mereka berbisik, ‘’cepaatlah. Itulah ang, salah alamat ruponyo. Capeklah,’’ katanya.
Akhirnya mereka pun pamitan dan masih di perkarangan rumah, mereka pun terlibat pembicaraan. ‘’Itulah ang, ndak tanyo-tanyao dulu urangnyo.’’ Kata yang satunya.***
0 komentar:
Post a Comment