Tingginya tingkat keraguan dan dugaan potensi suara tidak sah yang diungkapkan banyak pihak, baik dari kalangan perguruan tinggi, pengamat politik, parpol bahkan masyarakat sendiri menarik untuk dicermati. Kondisi tersebut perlu menjadi perhatian dan catatan tersendiri bagi para calon anggota legislative dan kalangan partai untuk bersikap.
Setidaknya, hal ini bisa dijadikan acuan untuk melakukan evaluasi tentang cara kampanye yang dibungkus dalam konteks sosialisasi—yang telah dan tengah dilakukan para calon anggota legislative saat ini. Serta dalam mempersiapkan kampanye resmi mendatang. Sehingga berbagai pertanyaan dapat terjawab dan solusi pun bisa terungkap.
Di antara sederetan pertanyaan yang dimaksut antara lain, efektifkan cara bersosialisasi dengan memasang baliho tanda gambar caleg—baik yang kecil maupun yang besar bagai layar perahu lancangkuning? Efektifkah menempelkan bahkan menggantungkan gambar di pohon-pohon pinggir jalan, tiang listrik, dinding pertokoan, di oplet, di kaca mobil sendiri?
Ingatkah konstituen dengan gambar yang ditempel dan digantungkan itu—baik yang berpakaian formal ala pejabat, ala kiai, ala da’i dan alakadarnya. Ataupun memasang gambar orang jungkir balik, kaki ke atas, gambar dengan monyet dan sebagainya. Efektifkah mengubar janji pada konstituen. Apakah perlu bermain politik uang dan bagi-bagi barang ke masyarakat. Dan banyak lagi segudang pertanyaan yang bisa diungkap dan dijawab oleh para caleg dan kalangan partai politik.
Tapi, itulah kondisi yang terjadi di lapangan saat ini, baik di Pekanbaru sendiri, maupun daerah-daerah lain di Riau, bahkan juga di seantero Nusantara ini, perang spanduk telah berlangsung, meski genderang kampanye secara resmi belum ditabuh. Berbagai sikap, cara dan tingkah laku para caleg dan tim suksesnya pun kelihatan.
Uniknya, meski pemerintah telah menetapkan system pemilu dengan mencontreng nama dan buka gambar, tetap saja yang tampil di masyarakat berupa baliho dengan gambar seorang caleg. Sangat jarang bahkan bisa dikatakan tidak ada caleg yang bersosialisasi dengan cara membuat baliho surat suara yang dicontreng.
Bahkan persaingan para caleg pun terlihat semakin ketat, tidak hanya terhadap caleg yang berbeda partai, caleg yang satu bendera pun saling sikut. Saling timpal spanduk dan stiker pun terjadi, meska mereka berasal dari satu partai yang sama—hanya gara-gara untuk merebut simpati warga di suatu wilayah. Bahkan di antara caleg pun sudah ada yang bagi-bagi barang ke masyarakat, mulai dari payung, kalender, baju kaus, rompi dan sebagainya. Ini pun tidak hanya dilakukan caleg yang muda-muda, tapi juga caleg ubanan yang sudah berkepala enam dan tujuh (usia di atas 60 tahun).
Ini semua, menggambarkan betapa sulitnya perjuangan para caleg dalam upaya mendapatkan mandat dari rakyat dan merebut kursi parlemen, baik di DPRD kabupaten/kota, provinsi, DPR RI maupun di DPD sekali pun. Ini juga sebagai dampak dari pemilu dengan multi partai.
Disadari atau tidak, Pemilu multy partai akan menyulitkan bagi para caleg mendapatkan perolehan suara minimal. Selain itu juga membingungkan bagi masyarakat sendiri, sebagai akibat kurangnya sosialisasi. Bahkan di sebagian kalangan masyarakat timbul sikap apatisme terhadap pemilu itu sendiri. Mereka menilai bahwa pemilu atau pun tidak, tidak ada pengaruh signifikan terhadap nasib mereka. Yang kaya makin kaya, yang kuat makin berkuasa yang miskin makin melarat.
Bagi masyarakat awam, Pemilu tidak lebih berarti dari pada mencari nafkah sehari-hari. Yang terpenting bagi mereka negeri ini aman, harga barang bisa terkendali dan mudah bekerja untuk memenuhi kewajiban berumah tangga.
Lantas bagaimana solusinya?
Meski para caleg telah mempersiapkan banyak gambar, spanduk, stiker, dan sebagainya tidak ada salahnya kembali merogoh isi kocek, untuk mempersiapkan media kampanye yang mungkin bisa dianggap sebagai media alternative yang efektif. Tentunya berupa pembuatan spanduk duplikat surat suara dengan sederet partai dan caleg lain. Diantaranya tercantum naama caleg dimaksud dengan cara contreng.
Pola ini tidak hanya akan menguntungkan caleg itu sendiri, tapi juga mampu membantu masyarakat dalam mengingat posisi nama yang akan dicontreng. Karena tidak mudah bagi masyarakat untuk mengingat dan mencari nama seseorang di antara puluhan bahkan mungkin ratusan nama-nama caleg yang terpampang di surat suara yang relatif besar itu nantinya.
Setidaknya juga ikut mensosialisasikan ke masyarakat bahwasanya pemilu 2009 bukan lagi mencoblos gambar partai ataupun gambar caleg, tapi hanya mencontreng nama caleg. Dengan cara demikian akan terlihat ‘’contrenglah nama saya yang ada pada partai A, urutan atau nomor sekian’’
Solusi yang tidak kalah pentingnya adalah meninjau kembali, perlu tidaknya system pemilu multy partai. Apakah tidak akan lebih baik jika jumlah partai dikurangi, sehingga selain membantu para caleg berebut suara konstituen, juga memudahkan bagi masyarakat dalam menggunakan hak suara mereka. Setidaknya dengan jumlah partai yang relative sedikit, juga akan membantu pemerintah dalam penghematan anggaran negara.
Dan banyak lagi solusi-solusi yang mestinya bisa dilakukan baik dalam hal sosialiasi ke masyrakat, tentang kampanye, tentang pemilu legislative, tentang pemilu pilpres, tentang hidup berdemokrasi dan sebagainya. Terakhir, tentu selamat berjuang para caleg.***