Mugkinkah Merelokasi Warga
Oleh Yasril
SEJAK beberapa hari belakangan, berita kebanjiran selalu menghiasi halaman surat kabar dan jadi pemberitaan di media elekktronika, baik radio maupun televisi. Tidak hanya soal soal air menggenangi wilayah pemukiman warga saja, tapi juga masyarakat kebanjiran rejeki, kota kebanjiran gelandangan dan pengemis dan masih banyak lagi kebanjiran lainnnya.
Dimulai dari belahan utara Kota Pekanbaru, tepatnya di sekitar Kelurahan Sri Meranti, Meranti pandak dan wilayah lain di sepanjang alur Sungai Siak misalnya. Sejak hujan mengguyur hampir seluruh wilayah Riau, khususnya Pekanbaru, tingkat stress dan kewaspadaan warga di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Siak pun mulai meningkat.
Mereka, khususnya umat muslim, selain harus menahan menahan lapar dan dahaga di bulan puasa, juga harus mampu meningkatkan kesabaran serta menahan emosi dan gejolak jiwa karena pemukiman mereka digenangi air.
Memang, bagi mereka yang bermukim di sepanjang alur sungai, banjir sudah merupakan hal yang biasa. Dan banjir bukan hal yang menakutkan bagi mereka, karena sudah menjadi bahagian kehidupan bagi mereka. Ini pun sesua dengan dengan filosofis hidup orang pantai ‘’Kalau takut dilamun gelombang jangan berumah di tepi pantai.’’ Pagi hari air surut dan pantai kering, siang atau sore pasang pun datang menggenangi pantai bahkan hingga ke daratan. Terlebih lagi jika di diikuti hujan berjam-jam. Alamat rumah pun tergenang, daratan pun berubah jadi lautan.
Padahal, daerah aliran sungai, terutama kawasan rawa bukan diperuntukan bagi pemukiman warga. Wilayah itu sebenarnya pantas menjadi daerah resapan air yang harus dipertahankan sebagai keseimbangan alam. Namun inilah yang selalu jadi dilema, di mana oleh sebagian orang, daerah itu dijadikan sebagai tempat bermukim. Mungkin awalnya coba-coba. Mungkin awalnya para nelayan mendirikan satu atau dua pondok tempat beristrirahat. Namun, karena keseringan dan banyaknya yang mencoba hal yang sama, maka jadilah ia sebagai wilayah pemukiman baru yang diawali dari pemukiman illegal.
Lantas, haruskah kita menyalahi pemerintah karena abai mengurus tata ruang?
Tunggu dulu. Oleh kebanyakan warga, kebanjiran yang melanda perkampungan mereka selama ini juga dianggap sebagai bahagian dari kebanjiran rejeki, apa lagi kalau ini dijadikan bahan pemberitaan bagi kaum jurnalis untuk mengetuk hati pada dermawan dan pemerintah agar dapat membantu warga yang terkena musibah.
Kondisi ini sudah berlangsung dan menjadi tradisi bertahun-tahun, banjir datang, warga mengungsi, ke tenda-tenda penampungan dan selanjutnya bantuan un mengalir. Setelah air surut, mereka pun kembali ke rumah masing-masing. Ini berlangsung bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun.
Pertanyaannya, haruskah tradisi seperti ini dipertahankan? Apakah tidak ada solusi yang lebih mendidik dan membuat efek jera agar warga tidak lagi bermukim di pinggir pantai atau DAS? Inilah yang sebenarnya harus ditanamkan, agar kejadian selama ini bisa dijadikan ikhtibar atau pembelajaran bagi mereka.
Karena selama ini setiap kali banjir, setiap itu pula keluar statemen pejabat baik eksekutif maupun legislative agar segera merelokasi warga dari kawasan banjir. Namun hanya sebatas retorika belaka yang tidak ada ujung pangkalnya.
Mungkin salah satu jalan keluarnya, pemerintah kota shering dengan pemerintah provinsi bahkan kalau bisa dengan pemerintah pusat untuk melakukan pembebasan lahan atau merelokasi pemukiman warga yang berada di daerah aliran sungai dan mengembalikan fungsi rawa sebagai daerah resapan air. Tentunya rencana besar ini harus diikuti dengan kekuatan hukum berupa peraturan, baik peraturan daerah maupun peraturan pemerintah yang juga bukan hanya slogan atau retoika belaka, tapi harus dibuktikan secara konkret.*